Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.

Titulo

recent

The Slider

ahanamasa

featured posts

berita

Thursday, June 29, 2006

Mpu Bada: Ompu ni Dairi

 


ilustrasi
Mpu Bada diyakini oleh orang Batak Dairi sebagai leluhur mereka. Hal ini bertentangan dengan keyakinan orang Batak bahwa leluhur dari semua orang Batak adalah si Raja Batak.

Mpu Bada diyakini adalaha seorang prajurit dari Sriwijaya yang pernah mengepung dan menyerang tanah Batak melalui Barus, yang sebelumnya mereka menaklukkan Negeri Pagarruyung. Pada abad-12, bala tentara Sriwijaya tersebut yang beribukota di Palembang menyerbu tanah Batak melalui kota pelabuhan Barus dengan tujuan menguasai Sumatera.

Mereka berhasil menguasai Sumatera bagian utara sebelum akhirnya dipukul balik oleh prajurit-prajurit tangguh dari Aceh. Hasilnya sebagian besar pasukan Sriwijaya melarikan diri menyisakan beberapa orang yang akhirnya memilih tinggal di pedalaman hutan tanah Batak.

Barus akhirnya dikuasai pasukan dari Aceh, sampai akhirnya legitimasinya berkurang saat orang-orang Batak lokal mulau tampil kembali menguasai barus. Sebagai huta, Barus memiliki raja dari zaman dahulu kala. Orang-orang hatorusan, keturunan raja Uti, yang menguasai Barus sejak abad 10 SM, tampil menguasai Barus kembali. Orang India Kuno, pada abad-abad sebelum masehi menyebut Barus sebagai Warusaka. Kota yang gemerlap yang menjadi kota kunjungan pavorit dari utusan Raja-raja Fir'aun di zaman Ptolemeus.

Kekuasaan mereka meliputi kota Barus sekarang sampai ke daerah Barus Hulu, yaitu, pakkat, Negeri Sionomhudon negeri Rambe dan lain-lain yang sekarang masuk kedalam kabupaten Humbahas.

Di negeri Sionomhudon inilah, keturunan Sriwijaya tersebut dengan pimpinan Mpu Bada mendirikan komunitas mereka. Komunitas ini bagaimanapun juga akhinrya berasimilasi dengan orang-orang Batak yang mendiami daerah tersebut. Mereka kemudian mendirikan marga-marga. Sebagian ada yang diasimilasikan dengan marga Batak sebagai lain berdiri sendiri. Marga Mungkur misalnya diyakini merupakan marga Marbun dan lain sebagainya sebagai contohnya.

Komunitas Dairi ini berkembang dengan baik di pegununungan negeri Sionomhudon dengan kepemimpinan dari Keturunan Dinasti Uti yang menguasai pesisir Sumatera Utara dengan nama kerajaan; Hatorusan.

Pada abad ke-14, Kerajaan Hatorusan yang kaya, dengan Barus dan Fansur sebagai kota utama penghasil kemenyan (kapur), emas dan lain sebagainya tersebut dihajar kembali oleh pasukan negeri superpower Majapahit dari pulau Jawa. Kali ini mereka datang dari pesisir timur Sumatera, melewati pegunungan dan berbagai huta sampai akhirnya sampai ke pesisir barat. Sekali lagi, kerajaan Hatorusan hancur lebur, sebagian keturunannya bahkan ada yang mengungsi ke Singkil Aceh. Mereka kembali ke Barus, setelah orang-orang Aceh kemudian mengusir orang Majapahit tersebut.

Orang-orang Dairi kembali menerima sisa-sisa tentara Jawa yang akhirnya mereka semua menjadi orang Dairi. Ada yang menyebutkan bahwa orang Pakpak di barat berbeda dengan orang Dairi yang di sebelah timur. Komunitas Dairi ini sampai sekarang mendiami pegunungan antara tanah Batak dan Aceh.

Pada abad-16, orang-orang Dairi dapat menciptakan bahasa kebudayaan yang berbeda dengan orang Batak pada umumnya. Saat Panglima Manghuntal alias Mahkuta, salah satu Panglima kerajaan Hatorusan mendirikan kerajaan Batak di Bakkara dengan gelar Sisingamangaraja I, orang-orang dairi tunduk kepadanya.

Manghuntal merupakan salah satu panglima, khusus darat dan laut, dari kerajaan Hatorusan yang pada saat itu sudah beribukota di Singkil. Saat pasukan portugis ingin menguasai Singkil, Manghuntal mengambil peran penting dalam pengusiran pasukan bajak laut tersebut.

Raja di Kerajaan Hatorusan saat itu, bermarga Pasaribu dan mempunyai istri br Sinambela. Manghuntal merupakan bere, atau keponakan, sang Raja dan dia dibesarkan di istana Raja sejak kecil.

Suatu saat, orang-orang Batak pedalaman sekitar Danau Toba, yang mempunyai raja-raja dan legitimasi lokal, memberontak kepada hegemoni Kerajaan Hatorusan, Manghuntal Sinambela selaku orang Bakkara diutus untuk menumpasnya.

Pasukan Sisingamangaraja I berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Namun, kabar buruk datang bahwa kerajaan Hatorusan di Singkil telah melemah dan kerajaan mengelami perpecahan. Raja di Hatorusan saat itu, menyerahkan otoritas keraajan batak kepada Manghuntal. Manghuntal alias Mahkuta kemudian berinisiatif mendirikan kerajaan sendiri di Bakkara, sebuah kerajaan Batak yang baru dari marga Sinambela. Dia tidak pernah lupa dengan jasa Tulangnya dan keturunannya yang bermarga Pasaribu, sehingga posisi Raja Uti beserta keturunan mempunyai peranan penting dalam ritual keagamaan Sisingamangaraja. Raja Uti secara simbolis diangkat sebagai tokoh spiritual dalam agama Parmalim.

Keturunan Raja-raja Hatorusan yang bermukim di Barus dan Fansur mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri. Banyak dari marga Pasaribu yang akhirnya menjadi raja-raja huta di diwilayah pesisir barat Sumatera tersebut.

Salah satu yang terkenal dan menjalin hubungan politik dengan Dinasti Sisingamanraja adalah Kesultanan Barus dengan Rajanya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu. Hidup di zaman Sultan Ria'yatshah di Aceh.

Sultan Ibrahimsyah Pasaribu membangun kembali kota Barus sebagai kota pelabuhan yang ramai dikunjungi sekaligus juga kota budaya dan ilmu pengetahuan. Hamzah Fansuri, ayahnya Abdulrauf Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani merupakan sarjana-sarjanan sastra penting yang lahir dalam suasana pembaruan politik yang dilakukan oleh Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.

Kekuasaan Kerajaan Barus juga meliputi kerajaan Barus Hulu yang saat itu dikuasai oleh Sultan Marah Sifat. Di Kerajaan Barus Hulu memiliki beberapa provinsi, diantaranya adalah Negeri Sionomhudon, Negeri Rambe, Negeri Pusuk, Negeri Sijungkang dan lain-lain.

Saat Belanda menguasai Barus Negeri Barus Hulu dijadikan Onderafdeling Bhoven Barus yang beribukota di Pakkat. Dalam fase terakhir penjuangan Sisingamangaraja XII melawan penindasan Belanda, dia bersama 800-an pengikutnya mengambil suaka politik di Negeri Sionomhudon ini.

Raja di Sionomhudon, menerima kedatangan mereka dan sekaligus memberikan sebuah tanah hutan kepadanya sebagai basis gerilya dan tempat bermukin para pengikutnya. Akhirnya huta tersebut ditanami berbagai tanaman yang dapat menghidupi semua pengikut tersebut. Huta ini kemudian dikenal sebagai Pearaja. Dengan demikian orang-orang Dairi, keturunan Mpu Bada, telah ikut berperan penting dalam sejarah perjuangan Batak.

1 comment:
Write comments

Bingung do pe dalan tu Pakkat?
Sukkun ma di son !