ilustrasi |
Hal itu dapat terlihat dalam beberapa kolom komentar Facebok dari media Tribunnews (baca). Walau ada yang mendukung kebijakan yang diambil KMP Sumut II yang hanya mengangkut tiga penumpang dari air, akan tetapi lebih banyak warga net yang marah karena tidak mengangkut semuanya. Setidaknya bisa mengurangi korban.
Bagi yang lahir di Bonapasogit atau di daerah masyarakat Batak (ada tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba) sudah terbiasa dengan nasihat orang tua agar menjauhkan diri dari musibah. Mengapa? karena meminta tolong di daerah ini akan sangat sulit.
Baik itu karena medan musibah seringkali jarang manusia, di hutan atau di danau, maupun karena kebiasaan.
Mungkin tulisan ini berupa otokiritik kepada sesama masyarakat Batak, bahwa sudah saatnya kebiasaan buruk (walau pun ada juga yang baik) ditinggalkan.
Dulu ketika infrastruktur jalan di daerah Batak belum beraspal, pemilik mobil biasanya akan mengasah keterampilan tinggi agar mobil tidak sampai terjebak di lumpur di tengah hutan. Karena bagaimanapun akan sangat sulit untuk meminta tolong. Kalaupun ada perkampungan dekat lokasi, itupun akan butuh waktu lama negosiasi karena berhubungan erat dengan uang.
Perlu diingat, tidak ada tim SAR di perkampungan dan pedalaman. Kalaupun ada pegawai Kantor Desa yang bertugas untuk mengatasi musibah, tetap saja ujungnya adalah uang yang jumlahnya sangat relatif yang bisa dimaknai 'habis-habisan'.
Begitu juga jika ada mobil mobil masuk jurang, maka tingkat kesulitan akan semakin tinggi. Penderitaan bisa sampai batas maksimum terbawah kemanusiaan.
Lucunya, ketika ada pihak yang terketuk hatinya untuk menyediakan berbagai alat penyelamat seperti dongkrak, rantai penarik dll demi memudahkan sesama yang tertimpa musibah, karena terlalu sering terjadi, tidak jarang orang baik seperti ini akan dibenci. Mengapa? ya itu karena dikira mengurangi potensi pemasukan warga sekitar. What?
Contoh lain. Pada tahun 1995, sebuah rombongan anak sekolah berwisata ke Danau Toba. Mereka lalu menyewa perahu untuk keliling Danau Toba. Perahu diisi dengan sekitar 40 orang.
Tingkat keselamatan kapal itupun sangat rendah. Terbukti ketika para siswa ingin melihat pemandangan ke kiri, para siswapun ada yang penasahan untuk bergeser ke kiri. Hasilnya, kapalpun oleh ke kiri dan hampir terbalik.
Tidak ada peringatan sebelumnya dari kapal mengenai tingkat keselamatan, cara memakai baju pelampung dan lain sebagainya karena semuanya tampaknya sangat sederhana.
Uniknya, kegembiraan dalam mengarungi Danau Toba bisa berumah menjadi kecewa karena pemilik perahu bisa saja menambah uang tambahan dengan berbagai alasan. Misalnya, jalurnya terpaksa lebih jauh dan ini itu yang merusak suasana.
Lagi, pada saat siswa berenang dipantai, yang masuknya bayar. Salah satu di antara siswa ada yang terseret arus ke tempat yang dalam. Gurupun meminta tolong dengan beberapa pria di tempat yang menjaga pantai dan menerima ongkos masuk.
Lucunya, beberapa pria yang memegang pelampung itu ogah untuk menyelamatkan. Alasannya, penyelamatan itu ada biayanya. Jikapun diiyakan, pria 'penyelamat' itu meminta agar dibayar di depan, karena dia mengaku bahwa banyak orang yang tenggelam di Danau Toba, tidak memberi uang terima kasih setelah diselamatkan.
Dengan negosiasi yang begitu panjang, beruntung ada seorang siswa yang bisa berenang tadinya tidak ikut berenang karena jalan-jalan ke warung, langsung terjun ke danau menyelamatkan temannya itu.
Korbanpun dapat diselamatkan dan negosiasi batal. Pria petugas itupun berlalu tanpa perasaahan bersalah. Hei, di mana kesetaikawanan?
Mungkin saat ini, pengalamat itu akan tidak akan terulang karena bisa saja sudah ada petugas yang profesional.
Lihat di sini berita KM Sinar Bangun
Baca di sini komentar marahnya warga net kepada Kapten KMP Sumut II pada kolom komentar (lihat)
No comments:
Write comments