Tepat pada 30 Mei 1970, Erick Thohir lahir di Jakarta. Erick memang anak dari pengusaha Astra Internasional Tbk, Teddy Thohir, tapi Erick muda bukanlah tipe orang yang hanya bisa menikmati kekayaan keluarganya. Dia dan saudara-saudaranya yang lain malah diwarisi ilmu dan diperkenalkan banyak tentang berjuang di dunia bisnis.
Ketika di sekitar kita ada beberapa anak orang kaya yang memilih berleha-leha sekolah atau kuliah nggak genah dan sering foya-foya karena percaya kekayaan orangtuanya sudah cukup bisa mencukupi hidupnya. Erick berbeda. Dia serius berkomitmen melanjutkan pendidikannya. Jurusan periklanan di Glendale University, Amerika Serikat jadi pilihannya. Tak puas dengan ilmu yang didapat, dia kemudian melanjutkan kuliahnya ke National University California, dan menyabet gelar master di jurusan Administrasi Bisnis.
Kembali ke Indonesia, tak lantas langsung enak-enak menikmati kekayaan keluarga. Ia sempat membantu keluarga di bidang usaha makanan, Hanamasa dan Pronto. Walaupun sang ayah memiliki banyak bisnis, tapi siapa sangka kalau sang ayah malah melarang Erick melanjutkan bisnis keluarga. Ayahnya tersebut ingin anaknya mandiri, mempunyai usaha sendiri dan menemukan kesuksesannya sendiri.
Erick menerima tantangan tersebut dan terbukti berhasil mengejawantahkan dirinya sebagai orang mandiri.
Erick berhasil memanfaatkan ‘anugerah’ (kekayaan keluarga) tersebut bukan untuk menikmatinya saja, tapi sebagai modal berharga untuk pijakan selanjutnya. Ia menimba ilmu yang tinggi, menjadi individu yang mandiri, kemudian membuka usaha-usaha lain.
Lepasnya Erick dari bisnis keluarga sempat dihalangi saudara-saudaranya. Namun, Erick mantap memilih berkiprah secara mandiri tanpa campur tangan keluarga dan sukses di bisnis media
Menurut beberapa sumber, lepasnya campur tangan Erick pada bisnis keluarga sempat dihalangi beberapa saudaranya. Erick dinilai punya potensi besar untuk melanjutkan dan membuat usaha keluarga menjadi lebih besar. Namun apa daya, Erick telah memilih langkahnya. Selepas tak mencampuri bisnis keluarga, Erick memulai petualangan baru sebagai pebisnis. Dia memulai kiprahnya di dunia trading. Erick dan teman-temannya Wisnu Wardhana, Harry Zulnardy, dan Muhammad Lutfi kemudian mendirikan Mahaka Group, perusahaan dulu hanya bergerak di bidang pertambangan, keuangan dan media.
Mahaka Group makin tenar ketika membangun Radio One Jakarta pada 1999 dan mengakuisisi harian Republika yang saat itu hampir bangkrut pada 2000. Sampai tahun 2009, Mahaka Group tercatat telah berkembang dan menguasai majalah a+, Parents Indonesia, dan Golf Digest. Sedangkan pada bisnis surat kabar, Mahaka Group menaungi Sin Chew Indonesia dan Republika. Selain itu, Mahaka jugalah yang memiliki JakTV, GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan FeMale Radio.
Erick menjadi lebih dikenal para pegiat media ketika berhasil menyelamatkan Harian Republika — media yang terkenal Islami. Tak hanya menyelamatkan, tapi dia dan kawan-kawan berhasil menaikan kembali pamor Republika. Sampai sekarang, Republika tetap bertahan dan menjaga pamornya, serta tak menutup diri untuk ikut merambah dunia online.
Selain bersama Mahaka, Erick juga digandeng Anindya Bakrie untuk bergabung di perusahaan media. Meskipun jadi pemegang saham minoritas, tapi posisi yang diduduki Erick cukup penting. Ia didapuk Direktur Utama PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), induk usaha dari TVOne.
Tampaknya Bakrie paham betul potensi yang dimiliki Erick dalam rangka membantu kelangsungan dan kesuksesan perusahaan medianya. Untuk informasi, keluarga Bakrie memiliki saham sekitar 90 persen.
Erick Thohir dikenal sebagai pengusaha yang gemar dengan hal-hal yang berbau olahraga. Pernah mendengar tim basket dalam negeri, Satria Muda BritAma dan Indonesia Warriors? Erick merupakan pemilik klub tersebut.
Pengusaha sukses memang selalu tak mudah puas dengan apa yang didapatnya. Pada 2011 silam, bersama sebuah konsorsium, Erick jadi pemiliki klub NBA, Philadelphia 76ers. Selang setahun kemudian, bersama Jason Levien, dia menjadi co-owner sebuah klub Major League Soccer (MLS), DC United. Kecintaannya terhadap Indonesia tak memudar.
Dia bahkan membuka kesempatan pada beberapa atlet untuk mengikuti trial bersama DC United.
Puncaknya pada tahun 2013, nama Erick mencuat ke permukaan atas pengakuisisian klub sepakbola Internazionale Milan. Hampir media-media olahraga dunia meliputnya. Peristiwa ini memang memiliki banyak nilai berita sehingga layak diperbincangkan secara hangat, terutama oleh para penggemar sepakbola. Runtuhnya rezim Masimmo Morrati — yang telah 18 tahun memimpin Inter dan pengusaha Asia pertama yang memiliki klub Serie A tersebut jadi sebab kenapa pantas diperbincangkan.
Langkahnya membeli Internazionale Milan dinilai sebagai kepintarannya dalam berbisnis, bukan hanya pemenuhan dahaga terhadap kegemarannya di dunia olahraga
Namun yang perlu kita sadari dari langkahnya tersebut adalah kebrilianannya melihat celah dan kesempatan. Beberapa pakar sepakat kalau langkah Erick membeli saham Inter Milan adalah kepintarannya dari sudut pandang pemasaran yang tak terbantahkan. Bahkan belum lama ini, Erick dikabarkan mendapat untung atas penjualan 40 persen sahamnya ke sebuah konsorsium asal Tiongkok.
Kalau dipikir, kenapa bisa seorang pebisnis muda asal negeri antah berantah membeli sebuah klub pemegang scudetto 18 kali, tiga trofi Liga Champions dan tiga trofi Europa League?
Seperti kita ketahui, pangsa pasar dan nilai jual klub Italia pada saat Erick — dan saat ini mungkin masih — mengakuisisi Inter jelas kalah jauh dibandingkan klub-klub Liga Inggris. Pamor klub-klub Italia anjlok. Jumlah penonton yang datang ke stadion semakin sedikit. Lalu, makin sering kita menyaksikan kaos tim-tim Liga Italia menjadi polos tanpa sponsor.
Minimnya prestasi klub-klub Italia menjadi alasan. Jatah tim Italia yang berlaga di Liga Champions — kompetisi tertinggi antarklub Eropa — pun dikurangi. Bahkan rangking Liga Italia harus turun sejak beberapa tahun lalu, dan disalip Liga Jerman yang makin sehat masalah ekonominya.
Mungkin ada pertanyaan: kenapa nggak mengakuisisi klub Spanyol saja? Bukankah beberapa klub sedang kepayahan dalam masalah ekonomi? Erick mungkin sadar kalau membeli klub Spanyol, seperti Real Madrid, Barcelona, atau Atletico sebagai akan disulitkan dengan harga dan demand suporter yang haus gelar dan haus pemain mahal. Kalau pun mengakuisisi klub medioker lainnya, akan terasa sulitnya menggebrak dominasi tiga klub tersebut di singgasana klasemen.
Kontras dengan yang terjadi di Italia. Persaingan tergolong terbuka. Hanya Juventus yang ditakuti. Di samping itu, kekuatan imbang terbagi. Ihwal kekuatan, Inter setara dengan Napoli, AC Milan, AS Roma, Lazio, dan Fiorentina.
Namun dengan nama besar dan jumlah fans yang tak sedikit di berbagai belahan dunia, pengakuisisian yang dilakukan Erick dianggap sebagai sebuah kecerdasan.
Kecerdasannya makin tampak ketika ia menjaga suasana hangat suporter Inter.
Dia tak begitu langsung menanggalkan sosok Massimo Moratti dan menjaganya tetap masuk jajaran petinggi klub. Selain itu, Javier Zanetti, ikon klub Inter, didapuk oleh Erick menjadi wakil presiden klub.
Meski telah melanglang buana di dunia internasional, Erick tak pernah menolak untuk mengabdi pada negerinya sendiri
Seperti kita ketahui, Erick Thohir juga sangat mencintai olahraga. Meskipun kini jabatannya cukup prestisius di dunia internasional, Erick tak pernah menolak jika diberi amanah untuk mengabdi untuk negaranya. Seperti pada tahun 2006-2010, Erick dipercaya sebagai ketua umum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) dan Presiden Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara (SEABA) untuk dua periode, 2006-2010 dan 2010-2014.
Lalu pada tahun 2012, Erick ditunjuk menjadi Komandan Kontingen Indonesia untuk Olimpiade London. Dan yang paling anyar adalah terpilihnya dia menjadi Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) untuk masa bakti 2015-2019.
Erick Thohir tak pernah melupakan negaranya sendiri meskipun ia kerap harus bolak-balik Italia dan Amerika Serikat. Dalam setiap klub olahraga yang dimilikinya pun Erick tak pernah menanggalkan nasionalismenya. Contohnya, dia memberikan kesempatan pada anak bangsa, Syamsir Alam, untuk menimba ilmu di DC United, serta belum lama ini beberapa atlet dan pelatih sepakbola diberi kesempatan sama di Italia.
Itulah sedikit cerita singkat dari seorang pebisnis muda Indonesia yang sedikit-banyak berhasil membuat harum nama Indonesia. Sekali lagi, semoga kita bisa terinspirasi dari kisah Erick Thohir tersebut.
Garibaldi Thohir
Garibaldi “Boy” Thohir, bos PT Adaro Energy Tbk. terlihat berbinar-binar. Lelaki 51 tahun itu tengah bercerita mengenai mimpi dan rencana besar setelah perusahaan yang dipimpinnya itu mengambil alih 100% kepemilikan saham IndoMet Coal dari BHP Biliton Pty. Ltd. Australia.
Sembari menanti waktu buka puasa, Boy yang oleh Forbes disebut memiliki kekayaan sekitar US$650 juta setara dengan Rp8,45 triliun, menuturkan alasan nasionalisme di balik aksi korporasi yang dilakukan anak usaha Adaro, PT Alam Tri Abadi.
Menjadi tuan rumah di negeri sendiri adalah mimpi seorang Boy Thohir. Dia pelan-pelan mulai mewujudkan semangat nasionalisme yang diusungnya lewat Adaro, yang bisnis utamanya di bidang pertambangan dan kelistrikan.
Manajemen membeli saham IndoMet Coal senilai US$120 juta untuk 75% saham kepemilikan pada 3 Juni 2016. Sebelumnya, Adaro memborong 25% saham IndoMet Coal senilai US$350 juta-US$400 juta pada 2010.
"Ini sebuah pencapaian yang tadinya dimiliki asing, sekarang nasional. Menjadi tuan rumah di negeri sendiri, cuma memang jangan ngomong tuan rumah di negeri sendiri, terus enggak bisa ngapa-ngapain. Kita harus kerja keras, harus belajar," kisahnya.
IndoMet Coal merupakan proyek yang terdiri dari tujuh kontrak karya batu bara yang berlokasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Tambang Haju yang terletak di kawasan Lahai Coal Kontrak Karya, memiliki kapasitas produksi 1 juta ton batu bara per tahun dan telah berproduksi sejak 2015.
Perjanjian jual beli saham tersebut termasuk juga pengambilalihan kepemilikan atas seluruh BHP Mineral Holdings Pty., Ltd., dan BHP Minerals Asia Pasific Pty., Ltd., pada Maruwai Coal, PT Juloi Coal, PT Kalteng Coal, Sumber Barito Coal, Lahai Coal, PT Ratah Coal dan PT Pari Coal.
Konsesi batu bara khususnya cooking coal terbilang berbeda dengan termal coal yang selama ini ada di Indonesia. Umumnya, termal coal dibutuhkan untuk power plant dengan kalori mencapai 6.500 kkal. Sedangkan, cooking coal memiliki kalori lebih dari 8.000 kkal untuk peleburan baja.
Selama ini, dominasi produk cooking coal dikuasai oleh Australia melalui BHP dan Rio Tinto. Sedangkan, di Indonesia, IndoMet Coal yang ditemukan oleh BHP dan Rio Tinto, juga menguasai produk cooking coal.
Saat ingin membeli 25% saham IndoMet Coal, Boy Thohir rela bolak-balik ke Australia untuk menawar kepemilikan saham pada 2010. Ketika itu, harga komoditas batu bara tengah mengangkasa, sehingga Adaro harus merogoh kocek hingga US$400 juta.
Pembelian saham IndoMet Coal itu lantaran keyakinan akan prospek batu bara di Tanah Air bakal moncer. Tapi, apa boleh buat, ternyata industri batu bara pun terperosok, termasuk cooking coal.
"Kami kembali ke bisnis utama termal coal. Makannya Adaro setelah fokus di bisnis batu bara termal," tuturnya.
Proyek cooking coal sempat terhenti lantaran komoditas batu bara suram. Perlahan tetapi pasti, cooking coal IndoMet Coal mulai berproduksi hingga 1 juta ton per tahun, meski realisasi hanya 30.000-40.000 ton per bulan.
Selanjutnya, BHP dan Rio Tinto merasa kesulitan lantaran suramnya pasar komoditas. Mereka pun ingin fokus terhadap pengembangan di dalam negeri. Kepemilikan BHP dan Rio Tinto di IndoMet Coal didivestasi, termasuk kepada Adaro.
Boy menganggap, aset IndoMet Coal merupakan perusahaan batu bara terbaik yang harus dimiliki oleh Indonesia. IndoMet Coal menjadi produsen cooking coal terbaik di dunia, di luar Australia.
Dengan penuh keyakinan, Boy bersama pemegang saham ADRO, memutuskan untuk mengakuisisi seluruh saham IndoMet Coal. Optimisme yang dapat menjadi keyakinan adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5%-7% termasuk prospek kelas menengah yang bakal mencapai 130 juta pada 10 tahun ke depan, pasti akan membutuhkan produk baja yang melimpah.
Produk cooking coal, sangat dibutuhkan oleh PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. dan Posco yang tengah melakukan pengembangan di Kalimantan. Terlebih lagi, pasar ekspor ke China dan Jepang dipastikan sangat tinggi seiring dengan berkembangnya proyek infrastruktur dari produk baja.
Meski terbilang murah, manajemen Adaro terbilang konservatif. Boy yang mengendalikan Adaro bersama PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. (SRTG), itu merogoh kas internal untuk pembelian saham IndoMet Coal.
Dia yakin, pangsa pasar cooking coal masih terbuka lebar di dalam negeri, bahkan dunia. Namun, bagi laba dan rugi Adaro, kinerja IndoMet Coal dinilai baru akan masuk pada 2017 mendatang. Perbandingannya, saat harga termal coal mencapai US$120 per ton, cooking coal mencapai US$250 per ton.
Sementara setelah diakuisisi Adaro, manajemen lama IndoMet Coal juga diproyeksi akan diganti sesuai keinginan. Tidak menutup kemungkinan, The Adaro Way, bakal menjadi fokus baru IndoMet Coal, termasuk sisi kontraktor pertambangannya.
"Ibarat sopir, kalau penumpangnya mengganggu, ya diturunkan saja," katanya.
Tidak hanya IndoMet Coal, Boy juga punya mimpi bagi Indonesia untuk mandiri di sektor kelistrikan. Sebelum ada rencana pemerintah mewujudkan megaproyek 35.000 Megawatt, Boy telah mencetuskan ide 20.000 MW bakal diproduksi oleh Adaro.
Saat itu, Boy memaparkan mimpinya itu kepada para pemegang saham Adaro untuk memasuki bisnis power plant. Nilai tambah batu bara termal hanya dapat dilakukan melalui sektor kelistrikan.
Di samping itu, Indonesia juga memerlukan listrik yang cukup besar, sehingga visi Boy sebagai leader Adaro harus jauh ke depan. "Bukan sok-sokan, tapi kebetulan saja."
Boy ingin menjadi pemain utama sektor kelistrikan dengan menargetkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 20 Gigawatt hingga 2030 mendatang. Investasi megaproyek itu diproyeksi mencapai US$40 miliar setara dengan Rp529 triliun.
Target sebesar 20.000 Megawatt itu dicetuskan 7-8 tahun silam untuk jangka waktu 20 tahun. Sampai saat ini, perseroan telah memiliki proyek setrum hingga 2.600 MW. Bila telah cukup besar, manajemen Adaro menginginkan Adaro Power untuk go public.
Perusahaan sektor kelistrikan sejenis yang telah menggelar penawaran perdana saham (initial public offering/IPO), misalnya PT Cikarang Listrindo Tbk. Financial close yang telah dilakukan untuk PLTU Batang senilai US$4,6 miliar menjadi pembiayaan terbesar Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Hingga saat ini, Boy Thohir itu belum mengubah rencana. Dia ingin menjadi pemain utama di sektor kelistrikan di Indonesia. Rencana IPO dapat dilakukan sebelum Adaro Power merampungkan proyek hingga 20 GW tersebut.
Pencapaian hingga 20 GW itu dapat dilakukan melalui aksi organik maupun anorganik. Perseroan dapat mengakuisisi PLTU eksisting dengan kepemilikan tidak harus mayoritas.
Untuk membangun PLTU, investasi yang diperlukan mencapai US$1,5 juta hingga US$2 juta setiap 1 MW. Sehingga, total kebutuhan dana untuk mewujudkan mimpi 20 GW itu mencapai US$40 miliar.
Rata-rata, pembangunan PLTU merogoh kas internal maksimum 20%. Sisa kebutuhan dana diperoleh dari pinjaman perbankan dengan pertimbangan mencari mitra dan operator yang kompeten.
Setelah financial close proyek PLTU Batang sebesar 2x1.000 MW, perseroan tengah mengincar tiga power plant dengan kapasitas 3 GW. Proyek tersebut digarap oleh perusahaan konsorsium PT Bhimasena Power Indonesia yang terdiri dari Electric Power Development Co., Ltd. (J-Power), PT Adaro Power (AP) – Itochu Corporation (Itochu).
Tiga proyek pendukung PLTU 35.000 MW itu a.l. PLTU Tanjung Power Indonesia Kalimantan Selatan berkapasitas 2x100 MW, PLTU Jawa 1 berkapasitas 2x800 MW, dan PLTU Sumatra Selatan 9 dan 10 dengan kapasitas 2x600 MW. Investasi masing-masing senilai US$400 juta, US$3,5 miliar, dan US$2,5 miliar.
Biografi:
Nama : Garibaldi Thohir
Kekayaan: US$605 juta
Umur: 51 tahun
Peringkat: Terkaya ke-42 versi Forbes
Gurita bisnis Garibaldi Thohir:
PT Adaro Energy Tbk.
PT Provident Capital
PT Merdeka Copper Gold Tbk.
PT Sumatra Copper & Gold
PT Wahana Ottomitra Multi Artha Tbk.
PT Wahana Makmur Sejati (Grup Wahana Artha)
PT Allied Indocoal
PT Alam Tri Abadi
PT Adaro Indonesia
PT Semesta Centramas
PT Laskar Semesta Alam
PT Paramitha Cipta Sarana
PT Adaro Power
PT Mustika Indah Permai
PT Bukit Enim Energi
PT Bhakti Energi Persada
PT Adaro Persada Mandiri
PT Rehabilitasi lingkungan Indonesia
PT Agri Multi Lestari
PT Adaro Strategic Investments
PT Adaro Strategic Lestari
PT Adaro Strategic Capital
PT Viscaya Investments
PT Biscayne Investments
PT Dianlia Setyamukti
PT Surya Esa Perkasa Tbk.
PT Trinugraha Thohir
Ketika di sekitar kita ada beberapa anak orang kaya yang memilih berleha-leha sekolah atau kuliah nggak genah dan sering foya-foya karena percaya kekayaan orangtuanya sudah cukup bisa mencukupi hidupnya. Erick berbeda. Dia serius berkomitmen melanjutkan pendidikannya. Jurusan periklanan di Glendale University, Amerika Serikat jadi pilihannya. Tak puas dengan ilmu yang didapat, dia kemudian melanjutkan kuliahnya ke National University California, dan menyabet gelar master di jurusan Administrasi Bisnis.
Kembali ke Indonesia, tak lantas langsung enak-enak menikmati kekayaan keluarga. Ia sempat membantu keluarga di bidang usaha makanan, Hanamasa dan Pronto. Walaupun sang ayah memiliki banyak bisnis, tapi siapa sangka kalau sang ayah malah melarang Erick melanjutkan bisnis keluarga. Ayahnya tersebut ingin anaknya mandiri, mempunyai usaha sendiri dan menemukan kesuksesannya sendiri.
Erick menerima tantangan tersebut dan terbukti berhasil mengejawantahkan dirinya sebagai orang mandiri.
Erick berhasil memanfaatkan ‘anugerah’ (kekayaan keluarga) tersebut bukan untuk menikmatinya saja, tapi sebagai modal berharga untuk pijakan selanjutnya. Ia menimba ilmu yang tinggi, menjadi individu yang mandiri, kemudian membuka usaha-usaha lain.
Lepasnya Erick dari bisnis keluarga sempat dihalangi saudara-saudaranya. Namun, Erick mantap memilih berkiprah secara mandiri tanpa campur tangan keluarga dan sukses di bisnis media
Menurut beberapa sumber, lepasnya campur tangan Erick pada bisnis keluarga sempat dihalangi beberapa saudaranya. Erick dinilai punya potensi besar untuk melanjutkan dan membuat usaha keluarga menjadi lebih besar. Namun apa daya, Erick telah memilih langkahnya. Selepas tak mencampuri bisnis keluarga, Erick memulai petualangan baru sebagai pebisnis. Dia memulai kiprahnya di dunia trading. Erick dan teman-temannya Wisnu Wardhana, Harry Zulnardy, dan Muhammad Lutfi kemudian mendirikan Mahaka Group, perusahaan dulu hanya bergerak di bidang pertambangan, keuangan dan media.
Mahaka Group makin tenar ketika membangun Radio One Jakarta pada 1999 dan mengakuisisi harian Republika yang saat itu hampir bangkrut pada 2000. Sampai tahun 2009, Mahaka Group tercatat telah berkembang dan menguasai majalah a+, Parents Indonesia, dan Golf Digest. Sedangkan pada bisnis surat kabar, Mahaka Group menaungi Sin Chew Indonesia dan Republika. Selain itu, Mahaka jugalah yang memiliki JakTV, GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan FeMale Radio.
Erick menjadi lebih dikenal para pegiat media ketika berhasil menyelamatkan Harian Republika — media yang terkenal Islami. Tak hanya menyelamatkan, tapi dia dan kawan-kawan berhasil menaikan kembali pamor Republika. Sampai sekarang, Republika tetap bertahan dan menjaga pamornya, serta tak menutup diri untuk ikut merambah dunia online.
Selain bersama Mahaka, Erick juga digandeng Anindya Bakrie untuk bergabung di perusahaan media. Meskipun jadi pemegang saham minoritas, tapi posisi yang diduduki Erick cukup penting. Ia didapuk Direktur Utama PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), induk usaha dari TVOne.
Tampaknya Bakrie paham betul potensi yang dimiliki Erick dalam rangka membantu kelangsungan dan kesuksesan perusahaan medianya. Untuk informasi, keluarga Bakrie memiliki saham sekitar 90 persen.
Erick Thohir dikenal sebagai pengusaha yang gemar dengan hal-hal yang berbau olahraga. Pernah mendengar tim basket dalam negeri, Satria Muda BritAma dan Indonesia Warriors? Erick merupakan pemilik klub tersebut.
Pengusaha sukses memang selalu tak mudah puas dengan apa yang didapatnya. Pada 2011 silam, bersama sebuah konsorsium, Erick jadi pemiliki klub NBA, Philadelphia 76ers. Selang setahun kemudian, bersama Jason Levien, dia menjadi co-owner sebuah klub Major League Soccer (MLS), DC United. Kecintaannya terhadap Indonesia tak memudar.
Dia bahkan membuka kesempatan pada beberapa atlet untuk mengikuti trial bersama DC United.
Puncaknya pada tahun 2013, nama Erick mencuat ke permukaan atas pengakuisisian klub sepakbola Internazionale Milan. Hampir media-media olahraga dunia meliputnya. Peristiwa ini memang memiliki banyak nilai berita sehingga layak diperbincangkan secara hangat, terutama oleh para penggemar sepakbola. Runtuhnya rezim Masimmo Morrati — yang telah 18 tahun memimpin Inter dan pengusaha Asia pertama yang memiliki klub Serie A tersebut jadi sebab kenapa pantas diperbincangkan.
Langkahnya membeli Internazionale Milan dinilai sebagai kepintarannya dalam berbisnis, bukan hanya pemenuhan dahaga terhadap kegemarannya di dunia olahraga
Namun yang perlu kita sadari dari langkahnya tersebut adalah kebrilianannya melihat celah dan kesempatan. Beberapa pakar sepakat kalau langkah Erick membeli saham Inter Milan adalah kepintarannya dari sudut pandang pemasaran yang tak terbantahkan. Bahkan belum lama ini, Erick dikabarkan mendapat untung atas penjualan 40 persen sahamnya ke sebuah konsorsium asal Tiongkok.
Kalau dipikir, kenapa bisa seorang pebisnis muda asal negeri antah berantah membeli sebuah klub pemegang scudetto 18 kali, tiga trofi Liga Champions dan tiga trofi Europa League?
Seperti kita ketahui, pangsa pasar dan nilai jual klub Italia pada saat Erick — dan saat ini mungkin masih — mengakuisisi Inter jelas kalah jauh dibandingkan klub-klub Liga Inggris. Pamor klub-klub Italia anjlok. Jumlah penonton yang datang ke stadion semakin sedikit. Lalu, makin sering kita menyaksikan kaos tim-tim Liga Italia menjadi polos tanpa sponsor.
Minimnya prestasi klub-klub Italia menjadi alasan. Jatah tim Italia yang berlaga di Liga Champions — kompetisi tertinggi antarklub Eropa — pun dikurangi. Bahkan rangking Liga Italia harus turun sejak beberapa tahun lalu, dan disalip Liga Jerman yang makin sehat masalah ekonominya.
Mungkin ada pertanyaan: kenapa nggak mengakuisisi klub Spanyol saja? Bukankah beberapa klub sedang kepayahan dalam masalah ekonomi? Erick mungkin sadar kalau membeli klub Spanyol, seperti Real Madrid, Barcelona, atau Atletico sebagai akan disulitkan dengan harga dan demand suporter yang haus gelar dan haus pemain mahal. Kalau pun mengakuisisi klub medioker lainnya, akan terasa sulitnya menggebrak dominasi tiga klub tersebut di singgasana klasemen.
Kontras dengan yang terjadi di Italia. Persaingan tergolong terbuka. Hanya Juventus yang ditakuti. Di samping itu, kekuatan imbang terbagi. Ihwal kekuatan, Inter setara dengan Napoli, AC Milan, AS Roma, Lazio, dan Fiorentina.
Namun dengan nama besar dan jumlah fans yang tak sedikit di berbagai belahan dunia, pengakuisisian yang dilakukan Erick dianggap sebagai sebuah kecerdasan.
Kecerdasannya makin tampak ketika ia menjaga suasana hangat suporter Inter.
Dia tak begitu langsung menanggalkan sosok Massimo Moratti dan menjaganya tetap masuk jajaran petinggi klub. Selain itu, Javier Zanetti, ikon klub Inter, didapuk oleh Erick menjadi wakil presiden klub.
Meski telah melanglang buana di dunia internasional, Erick tak pernah menolak untuk mengabdi pada negerinya sendiri
Seperti kita ketahui, Erick Thohir juga sangat mencintai olahraga. Meskipun kini jabatannya cukup prestisius di dunia internasional, Erick tak pernah menolak jika diberi amanah untuk mengabdi untuk negaranya. Seperti pada tahun 2006-2010, Erick dipercaya sebagai ketua umum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) dan Presiden Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara (SEABA) untuk dua periode, 2006-2010 dan 2010-2014.
Lalu pada tahun 2012, Erick ditunjuk menjadi Komandan Kontingen Indonesia untuk Olimpiade London. Dan yang paling anyar adalah terpilihnya dia menjadi Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) untuk masa bakti 2015-2019.
Erick Thohir tak pernah melupakan negaranya sendiri meskipun ia kerap harus bolak-balik Italia dan Amerika Serikat. Dalam setiap klub olahraga yang dimilikinya pun Erick tak pernah menanggalkan nasionalismenya. Contohnya, dia memberikan kesempatan pada anak bangsa, Syamsir Alam, untuk menimba ilmu di DC United, serta belum lama ini beberapa atlet dan pelatih sepakbola diberi kesempatan sama di Italia.
Itulah sedikit cerita singkat dari seorang pebisnis muda Indonesia yang sedikit-banyak berhasil membuat harum nama Indonesia. Sekali lagi, semoga kita bisa terinspirasi dari kisah Erick Thohir tersebut.
Garibaldi Thohir
Garibaldi “Boy” Thohir, bos PT Adaro Energy Tbk. terlihat berbinar-binar. Lelaki 51 tahun itu tengah bercerita mengenai mimpi dan rencana besar setelah perusahaan yang dipimpinnya itu mengambil alih 100% kepemilikan saham IndoMet Coal dari BHP Biliton Pty. Ltd. Australia.
Sembari menanti waktu buka puasa, Boy yang oleh Forbes disebut memiliki kekayaan sekitar US$650 juta setara dengan Rp8,45 triliun, menuturkan alasan nasionalisme di balik aksi korporasi yang dilakukan anak usaha Adaro, PT Alam Tri Abadi.
Menjadi tuan rumah di negeri sendiri adalah mimpi seorang Boy Thohir. Dia pelan-pelan mulai mewujudkan semangat nasionalisme yang diusungnya lewat Adaro, yang bisnis utamanya di bidang pertambangan dan kelistrikan.
Manajemen membeli saham IndoMet Coal senilai US$120 juta untuk 75% saham kepemilikan pada 3 Juni 2016. Sebelumnya, Adaro memborong 25% saham IndoMet Coal senilai US$350 juta-US$400 juta pada 2010.
"Ini sebuah pencapaian yang tadinya dimiliki asing, sekarang nasional. Menjadi tuan rumah di negeri sendiri, cuma memang jangan ngomong tuan rumah di negeri sendiri, terus enggak bisa ngapa-ngapain. Kita harus kerja keras, harus belajar," kisahnya.
IndoMet Coal merupakan proyek yang terdiri dari tujuh kontrak karya batu bara yang berlokasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Tambang Haju yang terletak di kawasan Lahai Coal Kontrak Karya, memiliki kapasitas produksi 1 juta ton batu bara per tahun dan telah berproduksi sejak 2015.
Perjanjian jual beli saham tersebut termasuk juga pengambilalihan kepemilikan atas seluruh BHP Mineral Holdings Pty., Ltd., dan BHP Minerals Asia Pasific Pty., Ltd., pada Maruwai Coal, PT Juloi Coal, PT Kalteng Coal, Sumber Barito Coal, Lahai Coal, PT Ratah Coal dan PT Pari Coal.
Konsesi batu bara khususnya cooking coal terbilang berbeda dengan termal coal yang selama ini ada di Indonesia. Umumnya, termal coal dibutuhkan untuk power plant dengan kalori mencapai 6.500 kkal. Sedangkan, cooking coal memiliki kalori lebih dari 8.000 kkal untuk peleburan baja.
Selama ini, dominasi produk cooking coal dikuasai oleh Australia melalui BHP dan Rio Tinto. Sedangkan, di Indonesia, IndoMet Coal yang ditemukan oleh BHP dan Rio Tinto, juga menguasai produk cooking coal.
Saat ingin membeli 25% saham IndoMet Coal, Boy Thohir rela bolak-balik ke Australia untuk menawar kepemilikan saham pada 2010. Ketika itu, harga komoditas batu bara tengah mengangkasa, sehingga Adaro harus merogoh kocek hingga US$400 juta.
Pembelian saham IndoMet Coal itu lantaran keyakinan akan prospek batu bara di Tanah Air bakal moncer. Tapi, apa boleh buat, ternyata industri batu bara pun terperosok, termasuk cooking coal.
"Kami kembali ke bisnis utama termal coal. Makannya Adaro setelah fokus di bisnis batu bara termal," tuturnya.
Proyek cooking coal sempat terhenti lantaran komoditas batu bara suram. Perlahan tetapi pasti, cooking coal IndoMet Coal mulai berproduksi hingga 1 juta ton per tahun, meski realisasi hanya 30.000-40.000 ton per bulan.
Selanjutnya, BHP dan Rio Tinto merasa kesulitan lantaran suramnya pasar komoditas. Mereka pun ingin fokus terhadap pengembangan di dalam negeri. Kepemilikan BHP dan Rio Tinto di IndoMet Coal didivestasi, termasuk kepada Adaro.
Boy menganggap, aset IndoMet Coal merupakan perusahaan batu bara terbaik yang harus dimiliki oleh Indonesia. IndoMet Coal menjadi produsen cooking coal terbaik di dunia, di luar Australia.
Dengan penuh keyakinan, Boy bersama pemegang saham ADRO, memutuskan untuk mengakuisisi seluruh saham IndoMet Coal. Optimisme yang dapat menjadi keyakinan adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5%-7% termasuk prospek kelas menengah yang bakal mencapai 130 juta pada 10 tahun ke depan, pasti akan membutuhkan produk baja yang melimpah.
Produk cooking coal, sangat dibutuhkan oleh PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. dan Posco yang tengah melakukan pengembangan di Kalimantan. Terlebih lagi, pasar ekspor ke China dan Jepang dipastikan sangat tinggi seiring dengan berkembangnya proyek infrastruktur dari produk baja.
Meski terbilang murah, manajemen Adaro terbilang konservatif. Boy yang mengendalikan Adaro bersama PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. (SRTG), itu merogoh kas internal untuk pembelian saham IndoMet Coal.
Dia yakin, pangsa pasar cooking coal masih terbuka lebar di dalam negeri, bahkan dunia. Namun, bagi laba dan rugi Adaro, kinerja IndoMet Coal dinilai baru akan masuk pada 2017 mendatang. Perbandingannya, saat harga termal coal mencapai US$120 per ton, cooking coal mencapai US$250 per ton.
Sementara setelah diakuisisi Adaro, manajemen lama IndoMet Coal juga diproyeksi akan diganti sesuai keinginan. Tidak menutup kemungkinan, The Adaro Way, bakal menjadi fokus baru IndoMet Coal, termasuk sisi kontraktor pertambangannya.
"Ibarat sopir, kalau penumpangnya mengganggu, ya diturunkan saja," katanya.
Tidak hanya IndoMet Coal, Boy juga punya mimpi bagi Indonesia untuk mandiri di sektor kelistrikan. Sebelum ada rencana pemerintah mewujudkan megaproyek 35.000 Megawatt, Boy telah mencetuskan ide 20.000 MW bakal diproduksi oleh Adaro.
Saat itu, Boy memaparkan mimpinya itu kepada para pemegang saham Adaro untuk memasuki bisnis power plant. Nilai tambah batu bara termal hanya dapat dilakukan melalui sektor kelistrikan.
Di samping itu, Indonesia juga memerlukan listrik yang cukup besar, sehingga visi Boy sebagai leader Adaro harus jauh ke depan. "Bukan sok-sokan, tapi kebetulan saja."
Boy ingin menjadi pemain utama sektor kelistrikan dengan menargetkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 20 Gigawatt hingga 2030 mendatang. Investasi megaproyek itu diproyeksi mencapai US$40 miliar setara dengan Rp529 triliun.
Target sebesar 20.000 Megawatt itu dicetuskan 7-8 tahun silam untuk jangka waktu 20 tahun. Sampai saat ini, perseroan telah memiliki proyek setrum hingga 2.600 MW. Bila telah cukup besar, manajemen Adaro menginginkan Adaro Power untuk go public.
Perusahaan sektor kelistrikan sejenis yang telah menggelar penawaran perdana saham (initial public offering/IPO), misalnya PT Cikarang Listrindo Tbk. Financial close yang telah dilakukan untuk PLTU Batang senilai US$4,6 miliar menjadi pembiayaan terbesar Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Hingga saat ini, Boy Thohir itu belum mengubah rencana. Dia ingin menjadi pemain utama di sektor kelistrikan di Indonesia. Rencana IPO dapat dilakukan sebelum Adaro Power merampungkan proyek hingga 20 GW tersebut.
Pencapaian hingga 20 GW itu dapat dilakukan melalui aksi organik maupun anorganik. Perseroan dapat mengakuisisi PLTU eksisting dengan kepemilikan tidak harus mayoritas.
Untuk membangun PLTU, investasi yang diperlukan mencapai US$1,5 juta hingga US$2 juta setiap 1 MW. Sehingga, total kebutuhan dana untuk mewujudkan mimpi 20 GW itu mencapai US$40 miliar.
Rata-rata, pembangunan PLTU merogoh kas internal maksimum 20%. Sisa kebutuhan dana diperoleh dari pinjaman perbankan dengan pertimbangan mencari mitra dan operator yang kompeten.
Setelah financial close proyek PLTU Batang sebesar 2x1.000 MW, perseroan tengah mengincar tiga power plant dengan kapasitas 3 GW. Proyek tersebut digarap oleh perusahaan konsorsium PT Bhimasena Power Indonesia yang terdiri dari Electric Power Development Co., Ltd. (J-Power), PT Adaro Power (AP) – Itochu Corporation (Itochu).
Tiga proyek pendukung PLTU 35.000 MW itu a.l. PLTU Tanjung Power Indonesia Kalimantan Selatan berkapasitas 2x100 MW, PLTU Jawa 1 berkapasitas 2x800 MW, dan PLTU Sumatra Selatan 9 dan 10 dengan kapasitas 2x600 MW. Investasi masing-masing senilai US$400 juta, US$3,5 miliar, dan US$2,5 miliar.
Biografi:
Nama : Garibaldi Thohir
Kekayaan: US$605 juta
Umur: 51 tahun
Peringkat: Terkaya ke-42 versi Forbes
Gurita bisnis Garibaldi Thohir:
PT Adaro Energy Tbk.
PT Provident Capital
PT Merdeka Copper Gold Tbk.
PT Sumatra Copper & Gold
PT Wahana Ottomitra Multi Artha Tbk.
PT Wahana Makmur Sejati (Grup Wahana Artha)
PT Allied Indocoal
PT Alam Tri Abadi
PT Adaro Indonesia
PT Semesta Centramas
PT Laskar Semesta Alam
PT Paramitha Cipta Sarana
PT Adaro Power
PT Mustika Indah Permai
PT Bukit Enim Energi
PT Bhakti Energi Persada
PT Adaro Persada Mandiri
PT Rehabilitasi lingkungan Indonesia
PT Agri Multi Lestari
PT Adaro Strategic Investments
PT Adaro Strategic Lestari
PT Adaro Strategic Capital
PT Viscaya Investments
PT Biscayne Investments
PT Dianlia Setyamukti
PT Surya Esa Perkasa Tbk.
PT Trinugraha Thohir
No comments:
Write comments