23 Mar 07 19:16 WIB
Ironis, Mushalla Dikelilingi
Limbah Babi
WASPADA Online
Mushalla Ar Rahmah di Jalan Tangguk Bongkar VI, yang merupakan satu-satunya rumah ibadah Islam di tengah kawasan peternakan
babi, kini nyaris ditinggalkan jamaahnya; ternyata punya latar belakang cerita dari 36 tahun lampau.
Mantan Kepling setempat era tahun 1976 hingga 1979 kepada Waspada, Rabu (21/3), bercerita tentang Mushalla Ar Rahmah saat itu
bernama Gg Langgar pada tahun 1971, ketika masyarakat sekitar mayoritas muslim saat itu.
H Ahmad Idris Siregar, 67, mantan Kepling VI yang masih berdomisili di Tangguk Bongkar VI, Kelurahan Tegal Sari Mandala II,
Kecamatan Medan Denai menuturkan tentang sepenggal masa lalu yang tak dapat dipisahkan dengan maraknya ternak babi di
Kecamatan Medan Denai.
Menurutnya, riak tersebut telah mengakibatkan mayoritas warga setempat sebagai warga asli beragama Islam telah tertekan saat
1971 itu hingga buru-buru menjual tanahnya dengan harga murah, akibat masuknya etnis lain yang membawa permasalahan baru
ditambah babi untuk diternakkan.
Kala itu asal tanah di kawasan tersebut merupakan bekas areal perkebunan tembakau Deli yang diusahai PTP IX milik pemerintah,
namun sejak masuknya para pendatang sedikit demi sedikit telah menimbulkan riak, akhirnya warga muslim tergusur, katanya.
Namun dirinya menegaskan masuk ke kawasan tersebut pada tahun 1972 setelah pindah dari Jalan Multatuli Medan, sehingga sangat
mengherankan warga sekitar. "Karena di saat banyak yang buru-buru mau pindah keluar dari kawasan Tangguk Bongkar ini kok saya
malah masuk," paparnya.
Persoalan tertekannya warga dan masalah peternakan babi, menurutnya juga tidak dapat terpisahkan dengan Mushalla Ar Rahmah
yang kini hanya bisa diisi oleh 15 jamaah yang beribadah, itupun pada hari-hari tertentu, katanya.
Singkatnya menurut penuturan warga sekitar kepadanya saat 1972 tersebut, setahun sebelumnya kawasan itu dilanda riak yang
mengarah ke konflik etnis akibat rawannya masalah keamanan yang terjadi sejak para pendatang mulai masuk.
Tepat pada sebuah malam yang dirinya sudah tidak ingat lagi penduduk sekitar yang berjumlah sekira hampir 100 KK mayoritas
muslim saat itu, mendapati seorang warga luar dicurigai melakukan pencurian sehingga terjadilah keributan.
Usai peristiwa itu para pendatang dari etnis lain yang kini memarakkan kawasan tersebut sebagai tempat beternak babi
mengadakan perlawanan secara massal, sehingga warga setempat sangat tertekan. Setelah itu usaha penekanan terus berlanjut
dengan cara beternak babi, katanya.
Akibatnya banyak warga sekitar keluar dari kampung yang kala itu bernama Gg Langgar, sementara sejak saat itu para jamaah di
satu-satunya rumah ibadah di tempat itu yakni Mushalla Ar Rahmah mulai sepi, katanya.
Sementara pada tahun 1976 hingga 1979 dirinya mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat menjabat sebagai Kepling, pada
saat itu jumlah warga muslim dengan etnik pendatang sudah jauh berkurang, namun dirinya tetap teguh menjalankan tugas.
Setelah kondisi jumlah penduduk berbalik akhirnya pada tahun 1980-an nama jalan Gg Langgar tempat berdirinya rumah ibadah
Mushalla Ar Rahmah berganti menjadi Tangguk Bongkar VI, kisahnya.
Sementara peternakan babi tersebut dari tahun ke tahun kian bertambah marak. Pada akhirnya jamaah mushalla terhalang untuk
beribadah ke rumah ibadah, khususnya di musim hujan yang kebetulan daerah itu rawan banjir, urainya.
Melihat kondisi rumah ibadah warga muslim yang kian sepi di tengah mayoritas etnis lain tersebut timbul keprihatinan warga
sekitar untuk menghidupkan dan meramaikan Mushalla Ar Rahmah, akhirnya diambil kesepakatan agar mushalla itu ditempati
mahasiswa Islam. "Daripada mereka bayar sewa di tempat lain lebih baik menempati mushalla secara gratis dengan tujuan
beribadah sambil mengurus bangunannya," ujarnya.
Sehingga mushalla itu saat ini sebagai lambang bertahannya warga muslim sekitar dari rasa tertekan yang sudah berlangsung
sejak tahun 1971, katanya.
Aron Siregar salah seorang mahasiswa dari kampus IAIN Sumut yang menempati Mushalla Ar Rahmah membenarkan mereka menempati
dan mengurus rumah ibadah tersebut, menurutnya paling banyak 15 orang jamaah yang mengisi ruangan shalat pada hari tertentu,
ujarnya.
Sementara beberapa warga sekitar peternak babi yang tidak ingin disebutkan namanya kepada wartawan mengatakan tidak
mengetahui adanya persoalan seperti itu. Sebagian besar dari mereka menetap di kawasan Jalan Tangguk Bongkar VI pada tahun
1980-an dalam keadaan kondusif, aman dan tentram hidup berdampingan dengan umat muslim, katanya.
Sementara Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPEL) Medan Zulkarnain Harahap mengatakan, pemerintah harus tegas
menjalankan Perda No 11/1993 tentang penertiban hewan berkaki empat di kota Medan.
Jangan hanya seperti menunggu terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat karena sikap yang dilakukan pemerintah saat ini
terkesan seperti melakukan pembiaran timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan di tengah masyarakat, tegasnya.
No comments:
Write comments