Sultan Ibrahimsyah Pasaribu Hatorusan: Sultan Barus Hilir
Sumber dari tulisan ini adalah buku “Bunga Rampai Tapian Nauli” yang didukung penerbitannya oleh Jend. (Purn) M Panggabean, Akbar Tanjung dan Feisal Tanjung.
Buku ini menceritakan sejarah keturunan Tateabulan: Raja Uti dan Keturunanya yang bermigrasi ke pesisir dengan menguraikan keberadaan komunitas Pasaribu di Sorkam. Sorkam, kemudian masuk menjadi sebuah provinsi di Kesultanan atau Kerajaan Barus Raya.
Komunitas Pasaribu tersebut merupakan keturunan Pasaribu Si Opat Pusoran dari keturunan Si Raja Batak. Mereka sejak lama telah menjadi Raja Ni Huta atau Raja Wilayah di Sorkam.
Eksistensi Komunitas Pasaribu kuno didukung dengan beberapa bukti sejarah di antaranya; ditemukannya prasasti bersurat oleh Control EVR Belanda 622 Deut 2 1872 di Lobu Tua (Sekarang ini masuk ke Kec. Barus) dengan aksara Tamil dan berbahasa Hindu. Prasasti itu bertanggal 1010 tahun saka atau sekitar 1088 Masehi.
Prasasti tersebut sekarang di simpang di Museum Nasional Jakarta dengan katalog no. 42 halaman 388. Kalimat-kalimat di dalam prasasti tersebut telah diterjemahkan oleh Prof. Dr. Nilakanti Sastri dari Universitas Madras di Chennai India pada tahun 1931 ke dalam bahasa Inggris.
Terjemahan tersebut kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia oleh Tengku Lukman Sinar, sejarawan Sumatera Timur yang menemukan istilah dan komunitas Batak Hilir dari beberapa manuskrip Arab.
Prasasti tersebut menyebutkan keberadaan anggota serikat dagang mufakat dengan jumlah 500 orang Tamil yang berdiam di negeri Pasaribu Empat Pusoran. Dari kata Pasaribu Empat Pusoran inilah yang mengarahkan sejarawan bahwa daerah tersebut dikenal dengan Barus.
Kronologis Sejarah
Sejarah bermula dari Keturunan Raja Uti, anak dari Toga Datu yang merupakan anak dari Raja Batak, yang masih menetap di Toba dan tidak mengikuti nenek moyangnya bermigrasi ke pesisir, yakni; Ompu Tuan Doli yang mempunyai kesaktian. Ompu Tuan Doli merupakan Raja Huta bergelar Raja Di Luat Sagala Limbong. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama bernama Datu Dalu atau dikenal dengan Rimbang Saudara alias Sang Maima lengkapnya Erha Ni Sang Maima, putra kedua bernama Datu Pulungan.
Sang Raja mendidik anak-anaknya dengan baik. Segala kesaktian dan kekuatan magisnya diajarkan kepada anak-anaknya secara merata. Semua pangeran-pangeran calon penerus raja diperlakukan dengan adil dan sama rata. Kehidupan mereka berlangsung harmonis dengan bimbingan sang ayah.
Akan tetapi pertikaian mulai muncul saat wafatnya raja. Anak-anaknya mulai mempermasalahkan siapa yang paling berhak menjadi penerus tahta. Namun sesuai dengan ketentuan konstitusi adat yang mengatur suksesi politik, Sang Maima sebagai anak sulung terpilih menjadi Raja.
Namun kedua bersaudara, beserta keturunanya, beberapa dekade kemudian bersefakat untuk meninggalkan Luat Sagala Limbong, wilayah yang mereka tempati selama ini.
Tidak disebutkan alasan khusus mengapa migrasi ini dilakukan. Namun dapat dipastikan dalam sejarah Batak, faktor-fator migrasi adalah di antaranya; Pandemi Kolera (ini yang sering yang terjadi), peperangan, ekonomi dan perluasan wilayah.
Datu Pulungan dengan kerabatnya bermigrasi ke Silindung dan diteruskan sampai wilayah Mandailaing. Sementara itu Datu Dalu dan para turunannya memilih untuk bermigrasi ke arah barat. Sebagian menuju Lobu Tua di Negeri Fansur, sebuah negeri yang kemudian masuk menjadi provinsi di Kerajaan Barus Raya, mengikuti para leluhur mereka yang terlebih dahulu berdomisili dan menjadi penguasa di sana; Raja Uti dengan Gelar Raja Hatorusan. Di antara mereka yang turut pindah adalah Datu Negara yang dikenal dengan Manande Uhum dan Datu Tenggara alias Parubahaji.
Dalam konstalasi politik berikutnya terjadi pertikaian politik antara Sultan Moghul, Raja Pariaman, di Sumatera Barat, selatan pesisir Barus dengan Sultan Riayatsyah yang dikenal dengan dengan Raja Buyung di Aceh. Keduanya masih bersaudara. Puncaknya Sultan Moghul ingin menaklukkan Aceh.
Armada angkatan laut Sultan Moghul berangkat menuju Aceh. Beribu pasukan ‘marinir’ tersebut kemudian berlabuh dan melepas jangkar di Fansur untuk memenuhi kebutuhan logistik mereka. Fansur memang pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan dunia, tokoh yang lahir dari wilayah ini adalah mereka yang mempunyai kinayah Al Fansuri.
Saat itu panglima memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari tahu mengenai perkembangan Aceh yang terkini. Mereka meminta nasehat dari dua orang ahli strategi Batak; Datu Tenggaran dan Datu Negara, keduanya dari klan Pasaribu. Mereka juga diajak untuk ambil bagian dalam misi mereka. Posisi Fansur yang cenderung netral tergoyahkan.
Namun perkembangan politik dan melalui pertimbangan-pertimbangan, pasukan Sultan Mogul membatalkan niat penyerbuan tersebut. Datu Tenggaran diminta untuk memimpin pasukan kembali ke Pariaman.
Datuk Negara sendiri tidak berkenan untuk mengikuti pasukan tersebut ke Pariaman, dia lebih memilih untuk tetap berada di Fansur. Dalam pesan selamat tinggalnya, Datuk Teggaran bersumpah kelak akan kembali ke negeri Fansur. Segumpal tanah dan sekendi air Fansur jadi saksinya.
Di Negeri Pariaman Datu Tenggaran menyempatkan diri untuk memperdalam agama Islam. Diapun berganti nama menjadi Muhammad. Kegigihan dan kedisiplinan Muhammad dalam mengemban tugas-tugas negara membuat Sultan Moghul bersimpati. Dia menawarkan adiknya Siti Permaisuri putri Raja Indrapura Munawarsyah.
Setelah menikah, keduanya membuka wilayah baru dan dinamakan Tarusan untuk mengenang kakeknya Raja Hatorusan II di Negeri Fansur. Sebagai petinggi dan pembuka wilayah Datu Tenggaran dianugerahi gelar Sultan Muhammadsyah.
Di kota baru ini Muhammadsyah juga membawa serta ribuan pengikutnya. Muhammadsyah sendiri mulai membina keluarganya dengan rukun. Anak-anaknya tumbuh besar dan berkembang dengan didikan disiplin dan kebijaksanaan yang mendalam dari sang ayah.
Namun, Salah satu anaknya yang bernama Sultan Ibrahimsyah, menjelang dewasa, sekitar umut 17 tahun, berselisih paham dengannya. Perselisihan tersebut meruncing dan tidak dapat diatasi lagi. Ibrahimsyah pun memilih untuk meninggalkan Negeri Terusan dengan membawa pengikut seribu orang menuju Fansur.
Mereka berlayar ke Utara menyusuri pantai barat Sumatera. Namun karena persiapan yang kurang memadai, di Batu Mundam, kapal mereka mengalami nahas dan tenggelam. Rombongan tersebut memeilih melanjutkan perjalanan melalui rute darat dan mengikuti aliran sungai Batangtoru sampai ke Silindung. Dari kota lembah ini mereka melanjutkan perjalanan menuju Bakkara. Keinginan untuk menuju Fansur pun dihentikan sementara.
Di Bakkara mereka disambut oleh keluarga Raja lokal. Setelah mngetahui silsilah masing-masing, masyarakat Bakkara meminta Ibrahim Syah untuk menjadi pemimpin. Hal itu karena meereka mengetahui nenek moyangnya, raja Hatorusan, merupakan Raja Batak yang paling disegani pada zaman itu, namun tawaran ini ditolaknya. Sebagai gantinya dia berjanji dengan berpesan; “Jika anakku ini lahir seorang laki-laki dengan tanda-tanda tertentu yang ibunya adalah anak raja negeri ini, angkatlah menjadi raja!”.
Perjalanan dilanjutkan sampai ke negeri Fansur Pasaribu, Sorkam. Disana mereka memperkenalkan diri, menyebutkan asal-usul tarombo dan marganya, Ibrahimsyah pun akhirnya diterima dalam komunitas keluarga Pasaribu tersebut.
Setelah menetap setempat dan berpikir mendalam, Ibrahim Syah dan pengikutnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan mengikuti matahari tenggelam. Setelah mendapat persetujuan mereka meneruskan perjalanan dan diantar oleh empat petinggi Pasaribu: Matondang, Tarihoran, Bonda dan Habeahan mereka inilah yang disebut sebagai raja-raja Pasaribu Si Opat Pusoran di Negeri Pasaribu itu. Pada masa sekarang berdasarkan rapat Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat Pusoran tersebut adalah Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.
Barus Terbentuk
Dengan menempuh perjalanan menembus hutan belantara mereka sampai di wilayah Pagaran Limbong dan diputuskan untuk bermalam di sana. Esoknya mereka meneruskan perjalanan sampai di tepi laut dekat muara sungai. Ibrahimsyah kemudian meneliti daerah itu dan melihat bahwa daerah tersebut sesuai untuk dihuni. Berdasarkan survey yang dilakukan dia membulatkan tekad dan berniat membangun sebuah hunian baru di sana. Wilayah tersebut kemudian dinamakan negeri Barus dengan Sultan Ibrahim Syah sebagai rajanya dan kerajaan Hatorusan sebagai nama negaranya melanjutkan kerajaan nenek moyangnya.
Tidak diketahui apakah nama Barus tersebut baru dibuat ataukah nama tersebut sudah ada sebelumnya. Dan Ibrahimsyah mendirikan sebuah kerajaan di atasnya.
Pembangunan Kerajaan Hatorusan dilanjutkan dengan konfederasi kerajaan dan wilayah kecil. Fansur dan Sorkam tunduk ke Ibrahimsyah. Namun, selang beberapa lama, Ibrahimsyah kemudian menyadari bahwa dibagian hulu sungai telah eksis sebuah kerajaan tersendiri. Selisih paham mengenai batas-batas wilayah pun pecah.
Namun sebelum pertumpahan darah berlangsung, persengkataan itu dapat didamaikan melalui sebuah traktat; Kerajaan Hulu tersebut diakui eksistensinya dan dinamakan Barus Hulu, Rajanya tetap memerintah dan tunduk kepada konfederasi yang dikepalai oleh Sultan Ibrahimsyah, Raja di Barus Hilir, pengaruhnya diakui di seluruh Konfederasi Kerajaan Barus Raya; Kerajaan Hatorusan.
Pembangunan Barus pun akhirnya dilanjutkan menjadi sebuah bandar yang terkenal pada saatnya. Pembangunan tidak hanya dilakukan dalam infrstruktur kerajaan tetapi juga suprastruktur SDM-nya.
Sultan memberikan perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Individu-individu yang mempunyai bakat yang brilyan akan mendapat sokongan dan dukungan dana untuk mengembangkan ilmu-ilmu mereka. Ilmu sejarah, hukum, sosial dan politik serta penguasaan teknologi merupakan beberapa cabang ilmu yang berkembang saat itu. Komunitas-komunitas dagang diperbolehkan untuk membuka wilayah dan membangun masyarakatnya sendiri dalam enclave-enclave yang dilindungi keamanannya. Orang-orang China, Arab dan pedaganga India merupakan kaum imigran yang berdomisili di sana.
Sultan Ibrahimsyah menjadi legenda sebagai sultan pribumi yang terkuat di tanah Batak. Namun buku ini sama sekali tidak membahas istilah Dinasti Sorimangaraja. Istilah Dinanti Sorimangaraja dan Raja-raja Hatorusan mempunyai kemiripan; keturunan Tateabulan.
Pengaruh Sultan Ibrahimsyah Pasaribu juga menjadi masyhur sampai ke negeri Aceh, bahkan dalam beberapa ekspansinya di sana, dia berhasil memperkenalkan agama Islam di sebagain besar penduduk Aceh bahagian barat. Kelompok Pasaribu melalui Ibrahimsyah Pasaribu dengan demikian juga dikenal sebagai pembawa agama Islam di Negeri Aceh. Walaupun begitu agama Islam sendiri diyakini sudah dikenal oleh penduduk Aceh khususnya mereka yang tinggal di bagian pesisir timur Aceh.
Sejarah menceritakan bahwa pada tahun 1610 M, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu tewas tebunuh oleh ekspansi militer Aceh ke wilayah tersebut. Setelah pasukan Barus berhasil mengusir militer Aceh Kerajaan kemudian diwalikan kepada Sultan Marah Sifat; raja yang memerintah di Kerajaan Barus Hulu. Setelah berdamai, kedua kerajaan ini telah mengikat tali persaudaraan dimana Sultan Marah Sifat menjadi adik ipar Sultan Ibrahimsyah. Ibrahimsyah menikah dengan kakak perempuan Sultan Marah Sifat. Perwalian ini dimaksudkan sambil menunggu putra kerajaan Sultan Yusuf Pasaribu bin Ibrahimsyah tumbuh dewasa untuk menduduki tahta.
Setelah dewasa, Sultan Yusuf diangkat menjadi raja Barus Hilir dengan Gelar Raja Uti, meniru gelar nenek moyangnya. Sultan Yusuf Pasaribu membangun kembali negaranya dengan kemampuan yang dia warisi dari kakeknya. Kegembiraannya memuncak setelah lahirnya putranya yang diberi nama Sultan Hidayat Pasaribu.
Sebagai Raja diapun berusaha untuk membina kembali hubungan diplomasi dengan Raja Aceh. Simpati Raja Aceh pun bersambut dan menawarkan putrinya untuk dinikahi Sultan Yusuf.
Tawaran tersebut diterima oleh Yusuf, dan diapun berangkat untuk menikah dengan Putri Raja Aceh dan untuk beberapa saat menetap di Banda(r) Aceh. Namun, perasaan dendam dengan tebunuhnya ayahandanya dalam peperangan mempertahankan Barus tidak dapat dilupakan oleh Yusuf. Dia lalu membuat strategi untuk membunuh Raja Aceh tersebut. Gagal, Yusuf hanya mampu membunuh permaisuri raja. Dia ditangkap dan tewas dihukum oleh hulubalang Aceh.
Sepeninggalan Sultan Yusuf, kerajaan Barus sementara dipegang oleh Sultan Marah Sifat kembali. Setelah menerima kabar tewasnya Sultan, tahta kerajaan diserahterimakan kepada Sultan Hidayat. Sultan Hidayat memegang tampuk kekuasaa di Barus Hilir dengan gelar Sultan Adil. Sementara itu, di Barus Hulu telah terjadi suksesi kepada Maharaja Bongsu anak Sultan Marah Sifat. (J. Marbun)
Sumber dari tulisan ini adalah buku “Bunga Rampai Tapian Nauli” yang didukung penerbitannya oleh Jend. (Purn) M Panggabean, Akbar Tanjung dan Feisal Tanjung.
Buku ini menceritakan sejarah keturunan Tateabulan: Raja Uti dan Keturunanya yang bermigrasi ke pesisir dengan menguraikan keberadaan komunitas Pasaribu di Sorkam. Sorkam, kemudian masuk menjadi sebuah provinsi di Kesultanan atau Kerajaan Barus Raya.
Komunitas Pasaribu tersebut merupakan keturunan Pasaribu Si Opat Pusoran dari keturunan Si Raja Batak. Mereka sejak lama telah menjadi Raja Ni Huta atau Raja Wilayah di Sorkam.
Eksistensi Komunitas Pasaribu kuno didukung dengan beberapa bukti sejarah di antaranya; ditemukannya prasasti bersurat oleh Control EVR Belanda 622 Deut 2 1872 di Lobu Tua (Sekarang ini masuk ke Kec. Barus) dengan aksara Tamil dan berbahasa Hindu. Prasasti itu bertanggal 1010 tahun saka atau sekitar 1088 Masehi.
Prasasti tersebut sekarang di simpang di Museum Nasional Jakarta dengan katalog no. 42 halaman 388. Kalimat-kalimat di dalam prasasti tersebut telah diterjemahkan oleh Prof. Dr. Nilakanti Sastri dari Universitas Madras di Chennai India pada tahun 1931 ke dalam bahasa Inggris.
Terjemahan tersebut kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia oleh Tengku Lukman Sinar, sejarawan Sumatera Timur yang menemukan istilah dan komunitas Batak Hilir dari beberapa manuskrip Arab.
Prasasti tersebut menyebutkan keberadaan anggota serikat dagang mufakat dengan jumlah 500 orang Tamil yang berdiam di negeri Pasaribu Empat Pusoran. Dari kata Pasaribu Empat Pusoran inilah yang mengarahkan sejarawan bahwa daerah tersebut dikenal dengan Barus.
Kronologis Sejarah
Sejarah bermula dari Keturunan Raja Uti, anak dari Toga Datu yang merupakan anak dari Raja Batak, yang masih menetap di Toba dan tidak mengikuti nenek moyangnya bermigrasi ke pesisir, yakni; Ompu Tuan Doli yang mempunyai kesaktian. Ompu Tuan Doli merupakan Raja Huta bergelar Raja Di Luat Sagala Limbong. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama bernama Datu Dalu atau dikenal dengan Rimbang Saudara alias Sang Maima lengkapnya Erha Ni Sang Maima, putra kedua bernama Datu Pulungan.
Sang Raja mendidik anak-anaknya dengan baik. Segala kesaktian dan kekuatan magisnya diajarkan kepada anak-anaknya secara merata. Semua pangeran-pangeran calon penerus raja diperlakukan dengan adil dan sama rata. Kehidupan mereka berlangsung harmonis dengan bimbingan sang ayah.
Akan tetapi pertikaian mulai muncul saat wafatnya raja. Anak-anaknya mulai mempermasalahkan siapa yang paling berhak menjadi penerus tahta. Namun sesuai dengan ketentuan konstitusi adat yang mengatur suksesi politik, Sang Maima sebagai anak sulung terpilih menjadi Raja.
Namun kedua bersaudara, beserta keturunanya, beberapa dekade kemudian bersefakat untuk meninggalkan Luat Sagala Limbong, wilayah yang mereka tempati selama ini.
Tidak disebutkan alasan khusus mengapa migrasi ini dilakukan. Namun dapat dipastikan dalam sejarah Batak, faktor-fator migrasi adalah di antaranya; Pandemi Kolera (ini yang sering yang terjadi), peperangan, ekonomi dan perluasan wilayah.
Datu Pulungan dengan kerabatnya bermigrasi ke Silindung dan diteruskan sampai wilayah Mandailaing. Sementara itu Datu Dalu dan para turunannya memilih untuk bermigrasi ke arah barat. Sebagian menuju Lobu Tua di Negeri Fansur, sebuah negeri yang kemudian masuk menjadi provinsi di Kerajaan Barus Raya, mengikuti para leluhur mereka yang terlebih dahulu berdomisili dan menjadi penguasa di sana; Raja Uti dengan Gelar Raja Hatorusan. Di antara mereka yang turut pindah adalah Datu Negara yang dikenal dengan Manande Uhum dan Datu Tenggara alias Parubahaji.
Dalam konstalasi politik berikutnya terjadi pertikaian politik antara Sultan Moghul, Raja Pariaman, di Sumatera Barat, selatan pesisir Barus dengan Sultan Riayatsyah yang dikenal dengan dengan Raja Buyung di Aceh. Keduanya masih bersaudara. Puncaknya Sultan Moghul ingin menaklukkan Aceh.
Armada angkatan laut Sultan Moghul berangkat menuju Aceh. Beribu pasukan ‘marinir’ tersebut kemudian berlabuh dan melepas jangkar di Fansur untuk memenuhi kebutuhan logistik mereka. Fansur memang pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan dunia, tokoh yang lahir dari wilayah ini adalah mereka yang mempunyai kinayah Al Fansuri.
Saat itu panglima memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari tahu mengenai perkembangan Aceh yang terkini. Mereka meminta nasehat dari dua orang ahli strategi Batak; Datu Tenggaran dan Datu Negara, keduanya dari klan Pasaribu. Mereka juga diajak untuk ambil bagian dalam misi mereka. Posisi Fansur yang cenderung netral tergoyahkan.
Namun perkembangan politik dan melalui pertimbangan-pertimbangan, pasukan Sultan Mogul membatalkan niat penyerbuan tersebut. Datu Tenggaran diminta untuk memimpin pasukan kembali ke Pariaman.
Datuk Negara sendiri tidak berkenan untuk mengikuti pasukan tersebut ke Pariaman, dia lebih memilih untuk tetap berada di Fansur. Dalam pesan selamat tinggalnya, Datuk Teggaran bersumpah kelak akan kembali ke negeri Fansur. Segumpal tanah dan sekendi air Fansur jadi saksinya.
Di Negeri Pariaman Datu Tenggaran menyempatkan diri untuk memperdalam agama Islam. Diapun berganti nama menjadi Muhammad. Kegigihan dan kedisiplinan Muhammad dalam mengemban tugas-tugas negara membuat Sultan Moghul bersimpati. Dia menawarkan adiknya Siti Permaisuri putri Raja Indrapura Munawarsyah.
Setelah menikah, keduanya membuka wilayah baru dan dinamakan Tarusan untuk mengenang kakeknya Raja Hatorusan II di Negeri Fansur. Sebagai petinggi dan pembuka wilayah Datu Tenggaran dianugerahi gelar Sultan Muhammadsyah.
Di kota baru ini Muhammadsyah juga membawa serta ribuan pengikutnya. Muhammadsyah sendiri mulai membina keluarganya dengan rukun. Anak-anaknya tumbuh besar dan berkembang dengan didikan disiplin dan kebijaksanaan yang mendalam dari sang ayah.
Namun, Salah satu anaknya yang bernama Sultan Ibrahimsyah, menjelang dewasa, sekitar umut 17 tahun, berselisih paham dengannya. Perselisihan tersebut meruncing dan tidak dapat diatasi lagi. Ibrahimsyah pun memilih untuk meninggalkan Negeri Terusan dengan membawa pengikut seribu orang menuju Fansur.
Mereka berlayar ke Utara menyusuri pantai barat Sumatera. Namun karena persiapan yang kurang memadai, di Batu Mundam, kapal mereka mengalami nahas dan tenggelam. Rombongan tersebut memeilih melanjutkan perjalanan melalui rute darat dan mengikuti aliran sungai Batangtoru sampai ke Silindung. Dari kota lembah ini mereka melanjutkan perjalanan menuju Bakkara. Keinginan untuk menuju Fansur pun dihentikan sementara.
Di Bakkara mereka disambut oleh keluarga Raja lokal. Setelah mngetahui silsilah masing-masing, masyarakat Bakkara meminta Ibrahim Syah untuk menjadi pemimpin. Hal itu karena meereka mengetahui nenek moyangnya, raja Hatorusan, merupakan Raja Batak yang paling disegani pada zaman itu, namun tawaran ini ditolaknya. Sebagai gantinya dia berjanji dengan berpesan; “Jika anakku ini lahir seorang laki-laki dengan tanda-tanda tertentu yang ibunya adalah anak raja negeri ini, angkatlah menjadi raja!”.
Perjalanan dilanjutkan sampai ke negeri Fansur Pasaribu, Sorkam. Disana mereka memperkenalkan diri, menyebutkan asal-usul tarombo dan marganya, Ibrahimsyah pun akhirnya diterima dalam komunitas keluarga Pasaribu tersebut.
Setelah menetap setempat dan berpikir mendalam, Ibrahim Syah dan pengikutnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan mengikuti matahari tenggelam. Setelah mendapat persetujuan mereka meneruskan perjalanan dan diantar oleh empat petinggi Pasaribu: Matondang, Tarihoran, Bonda dan Habeahan mereka inilah yang disebut sebagai raja-raja Pasaribu Si Opat Pusoran di Negeri Pasaribu itu. Pada masa sekarang berdasarkan rapat Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat Pusoran tersebut adalah Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.
Barus Terbentuk
Dengan menempuh perjalanan menembus hutan belantara mereka sampai di wilayah Pagaran Limbong dan diputuskan untuk bermalam di sana. Esoknya mereka meneruskan perjalanan sampai di tepi laut dekat muara sungai. Ibrahimsyah kemudian meneliti daerah itu dan melihat bahwa daerah tersebut sesuai untuk dihuni. Berdasarkan survey yang dilakukan dia membulatkan tekad dan berniat membangun sebuah hunian baru di sana. Wilayah tersebut kemudian dinamakan negeri Barus dengan Sultan Ibrahim Syah sebagai rajanya dan kerajaan Hatorusan sebagai nama negaranya melanjutkan kerajaan nenek moyangnya.
Tidak diketahui apakah nama Barus tersebut baru dibuat ataukah nama tersebut sudah ada sebelumnya. Dan Ibrahimsyah mendirikan sebuah kerajaan di atasnya.
Pembangunan Kerajaan Hatorusan dilanjutkan dengan konfederasi kerajaan dan wilayah kecil. Fansur dan Sorkam tunduk ke Ibrahimsyah. Namun, selang beberapa lama, Ibrahimsyah kemudian menyadari bahwa dibagian hulu sungai telah eksis sebuah kerajaan tersendiri. Selisih paham mengenai batas-batas wilayah pun pecah.
Namun sebelum pertumpahan darah berlangsung, persengkataan itu dapat didamaikan melalui sebuah traktat; Kerajaan Hulu tersebut diakui eksistensinya dan dinamakan Barus Hulu, Rajanya tetap memerintah dan tunduk kepada konfederasi yang dikepalai oleh Sultan Ibrahimsyah, Raja di Barus Hilir, pengaruhnya diakui di seluruh Konfederasi Kerajaan Barus Raya; Kerajaan Hatorusan.
Pembangunan Barus pun akhirnya dilanjutkan menjadi sebuah bandar yang terkenal pada saatnya. Pembangunan tidak hanya dilakukan dalam infrstruktur kerajaan tetapi juga suprastruktur SDM-nya.
Sultan memberikan perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Individu-individu yang mempunyai bakat yang brilyan akan mendapat sokongan dan dukungan dana untuk mengembangkan ilmu-ilmu mereka. Ilmu sejarah, hukum, sosial dan politik serta penguasaan teknologi merupakan beberapa cabang ilmu yang berkembang saat itu. Komunitas-komunitas dagang diperbolehkan untuk membuka wilayah dan membangun masyarakatnya sendiri dalam enclave-enclave yang dilindungi keamanannya. Orang-orang China, Arab dan pedaganga India merupakan kaum imigran yang berdomisili di sana.
Sultan Ibrahimsyah menjadi legenda sebagai sultan pribumi yang terkuat di tanah Batak. Namun buku ini sama sekali tidak membahas istilah Dinasti Sorimangaraja. Istilah Dinanti Sorimangaraja dan Raja-raja Hatorusan mempunyai kemiripan; keturunan Tateabulan.
Pengaruh Sultan Ibrahimsyah Pasaribu juga menjadi masyhur sampai ke negeri Aceh, bahkan dalam beberapa ekspansinya di sana, dia berhasil memperkenalkan agama Islam di sebagain besar penduduk Aceh bahagian barat. Kelompok Pasaribu melalui Ibrahimsyah Pasaribu dengan demikian juga dikenal sebagai pembawa agama Islam di Negeri Aceh. Walaupun begitu agama Islam sendiri diyakini sudah dikenal oleh penduduk Aceh khususnya mereka yang tinggal di bagian pesisir timur Aceh.
Sejarah menceritakan bahwa pada tahun 1610 M, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu tewas tebunuh oleh ekspansi militer Aceh ke wilayah tersebut. Setelah pasukan Barus berhasil mengusir militer Aceh Kerajaan kemudian diwalikan kepada Sultan Marah Sifat; raja yang memerintah di Kerajaan Barus Hulu. Setelah berdamai, kedua kerajaan ini telah mengikat tali persaudaraan dimana Sultan Marah Sifat menjadi adik ipar Sultan Ibrahimsyah. Ibrahimsyah menikah dengan kakak perempuan Sultan Marah Sifat. Perwalian ini dimaksudkan sambil menunggu putra kerajaan Sultan Yusuf Pasaribu bin Ibrahimsyah tumbuh dewasa untuk menduduki tahta.
Setelah dewasa, Sultan Yusuf diangkat menjadi raja Barus Hilir dengan Gelar Raja Uti, meniru gelar nenek moyangnya. Sultan Yusuf Pasaribu membangun kembali negaranya dengan kemampuan yang dia warisi dari kakeknya. Kegembiraannya memuncak setelah lahirnya putranya yang diberi nama Sultan Hidayat Pasaribu.
Sebagai Raja diapun berusaha untuk membina kembali hubungan diplomasi dengan Raja Aceh. Simpati Raja Aceh pun bersambut dan menawarkan putrinya untuk dinikahi Sultan Yusuf.
Tawaran tersebut diterima oleh Yusuf, dan diapun berangkat untuk menikah dengan Putri Raja Aceh dan untuk beberapa saat menetap di Banda(r) Aceh. Namun, perasaan dendam dengan tebunuhnya ayahandanya dalam peperangan mempertahankan Barus tidak dapat dilupakan oleh Yusuf. Dia lalu membuat strategi untuk membunuh Raja Aceh tersebut. Gagal, Yusuf hanya mampu membunuh permaisuri raja. Dia ditangkap dan tewas dihukum oleh hulubalang Aceh.
Sepeninggalan Sultan Yusuf, kerajaan Barus sementara dipegang oleh Sultan Marah Sifat kembali. Setelah menerima kabar tewasnya Sultan, tahta kerajaan diserahterimakan kepada Sultan Hidayat. Sultan Hidayat memegang tampuk kekuasaa di Barus Hilir dengan gelar Sultan Adil. Sementara itu, di Barus Hulu telah terjadi suksesi kepada Maharaja Bongsu anak Sultan Marah Sifat. (J. Marbun)
No comments:
Write comments