Hari natal bagi kami anak-anak SD, antara tahun 1983-1989, merupakan hari berbahagia, karena saat itu akan diadakan acara makan bersama. Semua siswa-siswi sekolah akan patungan untuk membeli daging yang akan disembelih dan dimasak bersama.
Tradisi ini sebenarnya tidak sesuai dengan peraturan yang ada, mengingat sekolah kami adalah sekolah negeri, di mana tidak boleh ada pemaksaan buat siswa lain untuk memperingati hari kelahiran Yesus atau Nabi Isa bagi kami siswa yang muslim.
Namun karena kabupaten, kecamatan dan sekolah kami mayoritas adalah kristen (protestan) maka tidak dapat dielakkan bahwa kami yang hanya 2-3 orang muslim per kelas akan diwajibkan juga untuk ikut merayakan hari natal, walau beberapa teman muslim akan menolaknya.
Beberapa orang tua, pernah berinisiatif untuk melakukan protes, bahwa praktek tersebut tidak sesuai dengan UU dan kebebasan beragama. Lain halnya dengan praktik pewajiban belajar agama kristen di sekolah swasta yang memang dimiliki oleh yayasan kristen seperti sekolah Santa Maria, Rom Katolik di Pakkat, di mana semua siswanya, termasuk yang muslim wajib belajar dan merayakan hari besar kristen.
Namun, protes tersebut tampaknya dianggap lalu begitu saja karena memang tidak ada yang berani mengangkatnya ke level yang lebih tinggi agar suara mereka didengar. Terlepas dari protes tersebut, di sekolah kami perayaan natal selalu berlangsung tiap tahun.
Setelah uang untuk membeli daging dikumpulkan, uang tersebut akan digunakan untuk membeli beberapa ekor babi dan ayam. Pembelian ayam ini bertujuan agar mereka yang sakit dan berpantangan dengan babi dapat ikut menikmati upacara perayaan natal tersebut. Tentu juga, agar kami yang muslim juga bisa ikut makan karena juga ikut patungan untuk membeli daging tersebut.
Semua siswa akan dibagi-bagi tugasnya. Siapa yang menguliti, memotong dan memasak ayam. Sebuah tempat masak di tanah, yang sudah dilubangi akan dibuat seperti halnya masak-memasak dalam acara kemping.
Guru agama masing-masing akan melakukan koordinasi agar setiap murid tertib melakukan tugasnya. Oh yah, teman-teman Katolik biasanya tidak akan hadir lengkap. Hal ini dikarenakan banyak diantara teman yang dianjurkan ayah ibunya yang memahami betul doktrin agamanya agar tidak ikut dengan acara tersebut karena ternyata 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus bagi mereka.
Di kalangan muslim sendiri, hampir setengah tidak akan ikut dengan acara ini. Karena banyak juga di antara orang tua murid yang mengerti mengenai hukum-hukum muamalah dalam agamanya sehingga melarang anak-anaknya untuk menghadiri acara yang sesuangguhnya hanya untuk siswa kalangan protestan ini.
Namun, saya sebagai ketua kelas, yang tentu juga sebagai ketua umum, karena saya sudah kelas VI, maka momen ini menurut saya akan sangat sayang untuk ditinggalkan. Apalagi ada juga teman-teman muslim yang mengikutinya. Paling tidak kehadiran saya di sana untuk memastikan agar mereka yang ikut tersebut baik-baik saja.
Setelah acara masak-memasak, yang membuat semua siswa-siswa senang, selesai, maka semua siswa akan dibariskan seperti halnya baris-berbaris di hari senin dan sabtu saat akan menaikkan dan menurunkan bendera. Saya yang menjadi ketua umum akan memimpin barisan sesuai dengan kode dan komando protokol yang biasa dari guru.
Acara doa pun akan dibimbing oleh guru agama kristen protestan. Yang lain dianjurkan untuk mengikuti doa tersebut dan baru akan berdoa menurut agama masing-masing setelah itu. Baru kemudian sebuah perjamuan massal dimulai.
Kegembiraan para siswa, termasuk yang non-protestan, akan bertambah saat mereka bersantap masakan yang mereka masak sendiri. Di sinilah saya bisa mengetahui siapa-siapa saja temanku yang ternyata jago dan pintar memasak.
Setelah acara makan selesai, para murid akan dianjurkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Tentunya, murid protestan akan dipesan untuk menghadiri kebaktian di malam harinya di gereja HKBP di Pakkat.
Nah, biasanya pada saat kepulangan ini, ntah itu tradisi atau hanya bercanda, teman-teman yang non-muslim akan bercanda dengan melempari kami yang muslim dengan sisa-sisa daging babi yang telah mereka persiapkan sebelumnya.
Dengan tawa yang terbahak-bahak, mereka akan mengolok-olok kami yang berlari kesana-kemari menghindari lemparan daging babi dan cipratan kuahnya. Beberapa diantara korbannya ada yang menangis karena diguyuri daging babi, khususnya teman-teman atau adik-adik cewek muslim yang tidak bisa berlari kencang mengindar dari pelempar daging babi tersebut.
Ada juga sih, teman yang muslim yang tidak tahan dengan perlakuan semacam ini. Apalagi itu lebih banyak ditujukan kepada teman-teman putri. Akibatnya, pertengkaranpun tidak bisa dielakkan. Namun, sebagai ketua, tentunya saya harus bisa meleraikan dan mengamankan mereka.
Setiap kali melihat kejadian seperti itu, saya tidak akan mau bersepekulasi tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Walau hati kecil saya selalu geram melihat kejadian yang selalu berulang-ulang setiap tahuan tersebut. Tapi apa boleh buat, jumlah siswa muslim yang sedikit, tidak selalu menguntungkan pada posisi protes atas perlakukan ‘ramai’ orang yang mayoritas. Salah satu cara untuk mendamaikan hal tersebut bukan lah dengan memarahi atau menyalahkan pihak yang salah, yang tentunya akan memancing mereka semakin brutal, akan tapi dengan cara memisah mereka.
Sayang mengajak dan membariskan siswa-siswi yang muslim dan mengajaknya untuk pulang ke rumah masing-masing melalui rute jalan pintas yang tidak akan dilalui oleh kebanyakan orang. Sambil pulang saya ajarin mereka cara-cara melakukan samak. Yang kata orang tua saya caranya adalah dengan menyiramkan kulit yang kena siram babi dengan enam kali tanah liat yang basah dan sekali dengan air bersih.
Bagaimana dengan mereka yang sampai diguyur dengan kuah daging babi??? Hehe, tidak ada cara lain kecuali dengan membekalinya dengan tanah liat untuk dipakainya di rumah saat akan bersamak dengan cara mandi.
Di Pakkat kontak dengan babi saat itu adalah sesuatu yang lumrah. Sebelum adanya peraturan untuk mengurung dan mengkandangkan hewan ternak, babi dan anjing serta anak-anaknya yang ratusan berkeliaran di pusat kota, semua orang paling tidak akan bersentuhan dengan babi. Apalagi ada saja teman-teman yang usil dengan menyiramkan daging atau kuah babi ke kita.
Untuk ibu saya selalu menyiapkan tanah liat bersih di rumah kami. Satu ember tanah liat yang selalu diisi bila sudah habis. Tujuannya adalah agar seketika kami terkena babi, atau terpijak kotoran babi, kami akan bersamak dengan mudah tanpa harus pergi jauh-jauh mencari tanah liat untuk samak.
Di pedesaan yang sangat terpencil, di mana tidak ada ustadz yang mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang agama, tidak ada dai kecuali hanya beberapa tetua muslim yang dalil agamanya hanya berdasarkan apa yang pernah dia dengar dengan istilah ‘katanya-katanya’, maka kehidupan beragama di desa kami cukup sangat memprihatinkan.
Beberapa kali, permintaan untuk pengadaan pembimbing agama dan rohani disampaikan kepada otoritas pemerintah dan agama, tapi selalu saja nihil karena tidak ada dai yang tertarik untuk datang ke pedalaman yang sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Dan mengutus dai atau guru ke pedesaan bukanlah sebuah proyek yang 'basah'.
Untuk itulah, para orang tua kami yang tidak mudah begitu saja menyerah dengan kondisi akan melalukan inovasi keagamaan menurut pengetahuan mereka yang sangat minim. Semua persoalan-persoalan keagamaan baik itu pribadi maupun publik akan diolah dan diselesaikan menurut akal dan perkiraaan mereka saja.
Sekarang ini, belajar dengan pengalaman masa lalu, setiap keluarga akan menganjurkan paling tidak satu orang dari anak-anaknya untuk belajar ilmu agama di madrasah negeri maupun di IAIN agar anak tersebut akan menjadi acuan dan pedoman bagi keluarga dan kerabatnya dalam pengetahuan dan praktik-praktik agama.
Malam 25 Desember, biasanya akan menjadi malam yang sangat meriah di Pakkat. Beberapa pertunjukan keagamaan akan menghiasi peribadatan malam tersebut. Salah satunya adalah pajojoran dan drama. Pajojoran adalah kontes menghafal bibel yang akan dilakukan dengan menjejerkan anak-anak sekolah yang berisi mengenai cerita-cerita kelahiran Yesus. Dalam drama juga dipertunjukkan drama kelahiran Yesus oleh Bunda Maria.
Sebuah pajojoran dan drama ini telah dilatih sebelumnya di sekolah. Bahkan dalam pelatihan nyanyian kudus, malam kudus, gloria dan lain sebagainya, beberapa siswa muslim diwajibkan ikut. Aku sendiri yang selalu ikut tidak mengerti mengapa guru kami juga mewajibkan kami untuk ikut.
Tapi setidaknya dengan ikut latihan nyanyi gereja tersebut, saya menjadi banyak mengerti akan praktek-praktek agama khususnya protestan dan mengerti not-not musik serta bisa membedakan mana yang lagu gereja mana yang lagu pop yang sekarang ini sering kali bercampur dan dinyanyikan begitu saja oleh para muslim tanpa tahu asal usul dan karakteristik lagu tersebut.
Sebagai teman, tentunya kami tidak ingin mengecewakan undangan teman-teman kami yang sedang melakukan ibadat 25 Desember. Kami yang muslim di malam tersebut akan menerima undangan tersebut, dan ikut ke gerja. Namun kami akan lebih memilih berada di balkon gereja, sambil memerhatikan teman-teman kelas kami dalam pakaian terbaik mereka.
Biasanya pulang dari gereja, ibu saya akan marah sekali. Biasanya ibu saya akan berdalih bahwa saya tidak boleh keluar teralu malam. Tapi aku tahu bahwa ibu sebenarnya melarang saya pergi ke gereja. Saya berusaha menenangkan ibu bahwa saya oke-oke saja.
Saya tahu, di masa kecil ibuku dia juga selalu bermain-main dengan teman-teman Katolik-nya ke gereja dan bahkan ikut-ikutan dalam acara pembersihan patung-patung Yesus dan Bunda Maria. Kayaknya ibu saya tidak ingin saya mengikuti jejaknya. Dia berdalih bahwa saat itu dia maih awam karena dia belum mengerti hukum, dogma dan doktrin keagamaan.
Sebenarnya toleransi agama merupakan bagian dari adat dan kebiasaan di masyarakat Batak khusunya di Pakkat. Tapi ada saja memang pengecualian khususnya bagi mereka yang iseng melanggar nya.
Di hari jumat misalnya, dimana jam pelajar sampai jam 13.30, teman-teman kami akan menganjurkan siswa yang muslim untuk permisi saja pada jam 12.00 untuk menunaikan ibadah jumat. Ini berarti kami harus permisi dengan guru satu mata pelajaran yang bakal kami tinggalkan.
Nah, kadang-kadang kami diberikan izin, tapi sering kali guru tersebut akan marah dan pura-pura tidak tahu apa yang akan kami lakukan pada saat itu. Dia berdalih bahwa kami hanya malas saja mengikuti pelajarannya. Padahal di mesjid kami selalu berjumpa dengan guru agama Islam yang sama-sama bersama kami menuju mesjid.
Guru agama Islam tersebut, ntah mengapa tidak pernah berjuang untuk memberi dan memperingan kami dalam kewajiban belajar di waktu jumat. Menurut saya, sebagai PNS dia tidak mau mengambil resiko sehingga dianggap sebagai guru yang fundamentalis. Bahkan dalam perayaan Natal 25 Desember, dengan wajah yang sangat ceria dia akan membimbing kami untuk mengikuti acara tersebut, dimana dia adalah salah satu panitianya.
Terlepas dari penafsiran-penafasiran tersebut, di saat banyak teman-teman kami yang muslim mengejekku dan teman-teman yang ikut denganku dengan ejekan bahwa kami tidak taat beragama dan bahkan mengikuti ibadat agama orang lain, aku sih tenang-tenang saja menghadapinya. Bagiku, ini memang resiko hidup di sebuah komunitas dimana keyakinan kita sangat berbeda dengan keyakinan kebanyakan orang. Memaksa diri untuk terlepas dari belenggu ini, walau memang itu wajarnya, bukanlah sebuah jalan keluar yang baik. Kadang-kadang kedamaian harus tercipta dalam suasana kecurangan dan penindasan.
Above All, saya sangat menikmati masa-masa SD ku yang menurutku merupakan memori terindah di masa-masa kecilku.
No comments:
Write comments