Hari kemerdekaan republik Indonesia dirayakan sangat meriah di Pakkat. Hal ini karena inilah moment besar setiap tahun yang menyedot perhatian masyarakat. Interakhis antar huta dan desa akan terjadi di tanggal yang sakral ini. Pertandingan sepak bola, olahraga, seni dan lain sebagainya akan menjadi puncak acara.
Di Waktu, kamu duduk di kelas V SD, sekolah kami mengikuti pertandingan ‘Manortor’, catur, bulu tangkis, berjalan di atas kayu, sepakbola dan lain sebagainya. Persiapan untuk memenangi pertandingan ini telah dibuat sejak seminggu sebelumnya.
Kami berlatih dengan keras dengan berbagai formasi ‘tor-toran’ yang paling indah kami lakukan. Sebenarnya, menurut saya, tor-toran itu tidak lebih seperti cheerleading yang menunjukkan ketangkasan berputar dan berbaris yang rapi yang silih berganti membentuk pergerakan yang indah.
Hiasan dan pernik-pernik keemasan dikalungkan ke dada dan leher kami masing-masing dengan lilitan ulos Batak yang memberi keindahan yang sangat alami. Untuk para teman cewek, hiasan aksesorisnya bertambah saat kepala mereka dililitkan dengan benda-benda cantik seperti topi seetngah yang melilit kepala.
Namun, sayangnya, saat pertandingan dimulai di ‘tanah lapang’; sebutan untuk stadion sepakbola tempat upacara bendera 17 Agustus diadakan, tape recorder yang menjadi pengiring tor-tor tersebut mendadak mati. Ada yang mengatakan bahwa tape kami tersebut disabotase, karena untuk acara ini sebenarnya sudah ditentukan siapa pemenangnya.
Akhirnya, tim sekolah kami hanya mendapat penghargaan ke-3, dari sekian banyak sekolah yang mengikuti pertandingan tersebut. Sungguh sangat mengecewakan. Namun, dalam pertandingan sepakbola, kami membalasnya dengan menjadi jawara pertama se-kecamatan Pakkat. Final sepakbola dengan kesebelsan SD dari Temba, yang siswa-siswanya banyak telah berumur SMP, karena di sana tidak ditentutan umur anak sekolah, dan rata-rata 3-4 tahun di atas kami.
Awalnya kami sempat khawatir telah terjadi kecurangan. Setelah dicek bahwa mereka memang benar-benar anak SD, maka pertandingan dimulai dengan perasaan pesimisme yang memberatkan pikiran kami. Namun tak disangka pertandingan berakhir dengan skor 3-1 untuk kemenangan tim kami. Bahkan skor 3-0 sempat bertahan sampai detik-detik terakhir pertandingan. Kelalaian dan kecapekan membuat kami lali dan kebobolan pada saat pluit terakhir akan dibunyikan.
Itulah momen paling indah yang pernah aku alami selama mas-masa sekolahku di Bonapasogit. Bukan karena aku kapten kesebelasan tapi karena aku meruakan pemain dan sekaligus manager tim; karena aku memang saat itu menjadi ketua kelas yang sekaligus menjadi ketua tim pertandinga.
Kapten kesebelasan sendiri adalah temanku Agus Silaban yang sangat pintar mengatur serangan dan pencetak gol serta pemain terbaik menurutku adalah Hotasi Marbun, yang mampu mencetak gol, sejak dia menguasai bola dari di lapangan tengah.
Aku sendiri bertindah selaku pemain tengah di sayap kanan yang berfungsi menyuplai bola ke striker dan membantu pertahan yang dikoordinir Hendrik, teman yang paling tidak pernah kalah dalam perebutan bola, walau dengan lawan yang sangat tangguh sekalipun.
Kiper kami yang jarang kebobolan adalah Ilyas Manullang, temanku mengaji di madrasah, yang sekarang aku tidak tahu dimana gerangan yang bersangkutan. Kemenangan tersebut terasa semakin indah dengan sorakan tiga teman cewek yang menjadi primadona di kelas. Pertama Fransiska Tumannggor, seorang penyanyi gereja dan paling bisa memikat dan bergaya untuk menarik hati cowok. Terakhir dia terpikat dengan cowoknya yang bermarga Nasution dan mereka menikah dan menjadi muslimah yang taat. Yang kedua, Anna Debora Simbolon, aktivis gereja dengan kemampuan intelektual paling tinggi. Dan Jojor Marbun, paling manis dengan gaya bicara yang lemah lembut dan pemalu. Namun, sayangnya dia boru Marbun sama denganku. Aku jadinya tidak boleh terlalu dekat dengannya karena dia menjadi Itoku.
Dalam pemberian hadian di malam hari, di aula balairung atau balaidesa, suasana menjadi sangat terharu. Kemangan ini tentunya menjadi satu-satunya bagi kami. Tahun depan kami akan digantikan oleh adik-adik kami yang menggantikan posisi kami sebagai perwakilan sekolah.
Satu hal yang membuat kami bangga adalah, bahwa kami telah berhasil mempertahankan tradisi sekolah kami, SD I Negeri Pakkat, sebagai pemenang umum setiap cabang olahraga, bukan tarian lo, sejak dahulu kala. Paling tidak kami telah berhasil mempertahankan hegemoni dan supremasi SD kami, sebagai SD terbaik sekecamatan Pakkat. Sebuah perasan yang sangat subjektif namun menyenangkan.
No comments:
Write comments