Aceh Singkil — Marga Tinambunan merupakan salah satu marga tua yang memiliki sejarah panjang di wilayah Sumatra bagian utara. Persebaran marga ini tidak hanya terpusat di satu daerah, tetapi meluas ke berbagai kawasan, khususnya Aceh Singkil, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Humbang Hasundutan. Ketiga wilayah ini menjadi saksi jejak leluhur dan peran sosial masyarakat Tinambunan dari masa ke masa.
Di Aceh Singkil, keberadaan marga Tinambunan sudah tercatat sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1840, saat Belanda membentuk onder afdeling di Singkil Baru, beberapa tokoh adat dari berbagai suku ditunjuk sebagai datuk atau penghulu di masing-masing wilayah. Salah satunya adalah Gohon dari marga Tinambunan yang dipercaya menjadi penghulu di Rantau Gedang.
Kepercayaan itu menunjukkan bahwa marga Tinambunan telah memiliki pengaruh sosial dan politik di Singkil, bahkan di tengah kebijakan kolonial yang kala itu berupaya memperkecil kekuasaan adat. Gohon Tinambunan menjadi tokoh penting yang menjaga tatanan adat dan ketertiban masyarakat setempat.
Selain di Rantau Gedang, anggota marga Tinambunan juga tersebar di beberapa kampung dan dusun sekitar Aceh Singkil. Tradisi adat masih kental dipertahankan, termasuk dalam ritual kemasyarakatan dan adat istiadat pernikahan maupun kematian.
Selain Singkil, sebagian keturunan Tinambunan ada juga di Kabupaten Pakpak Bharat, salah satu wilayah yang dulunya menjadi bagian dari Tanah Pakpak di masa kerajaan-kerajaan kecil di Dairi. Di Pakpak Bharat, marga Tinambunan hidup berdampingan dengan marga-marga Pakpak lainnya seperti Boangmanalu, Berutu, Solin, dan Padang.
Di tanah Pakpak, Tinambunan dikenal aktif dalam berbagai kegiatan adat dan kepemudaan. Banyak di antara mereka yang terlibat dalam kegiatan sosial, pemerintahan desa, dan pertemuan adat. Mereka menjaga nilai Dalihan Na Tolu, sistem kekerabatan Batak yang menjadi pegangan utama dalam interaksi sosial.
Persebaran marga ini juga tercatat di Humbang Hasundutan, salah satu kabupaten di wilayah eks Tapanuli Utara. Humbang Hasundutan merupakan salah satu asal-usul nenek moyang marga Tinambunan sebelum berpindah ke berbagai wilayah lain. Hingga kini, desa-desa di Humbang Hasundutan masih banyak dihuni oleh keturunan Tinambunan.
Di Humbang Hasundutan, peranan marga Tinambunan sejak dahulu cukup menonjol. Mereka dikenal sebagai petani ulung dan penjaga tradisi dan adat. Di berbagai upacara adat, marga ini kerap dipercaya memegang peran penting, termasuk dalam hal musyawarah adat dan penyelenggaraan pesta-pesta adat besar.
Banyak keturunan Tinambunan dari Humbang Hasundutan yang kemudian melanjutkan pendidikan ke luar daerah dan kembali membangun desanya. Sebagian dari mereka juga merantau ke Medan, Jakarta, bahkan ke luar negeri, namun tetap menjaga ikatan dengan kampung halaman melalui acara-acara adat dan pertemuan rutin keluarga besar.
Hubungan antar marga Tinambunan di ketiga wilayah ini pun tetap terjalin erat. Beberapa kali diadakan acara bersama, seperti pesta adat atau pertemuan tahunan yang mempertemukan keturunan dari Singkil, Pakpak Bharat, dan Humbang Hasundutan.
Pak Aksi Tinambunan, SH, salah seorang tokoh marga Tinambunan di Aceh Singkil, menuturkan bahwa persatuan di antara sesama marga Tinambunan menjadi kunci dalam menjaga identitas budaya di perantauan. Ia berharap, generasi muda Tinambunan tetap bangga akan asal-usulnya dan tidak melupakan nilai-nilai luhur leluhur.
Menurutnya, peran marga Tinambunan dalam sejarah pembentukan daerah-daerah tersebut cukup signifikan, terutama di Aceh Singkil yang dulunya juga turut dipengaruhi oleh perjuangan tokoh-tokoh di masa pemekaran kabupaten.
Di Pakpak Bharat, marga Tinambunan menjadi bagian penting dalam perkembangan desa-desa tua. Di sini, mereka turut aktif membangun desa serta berperan dalam lembaga adat dan pemerintahan desa.
Sementara itu di Humbang Hasundutan, hingga kini keturunan Tinambunan masih menempati kampung-kampung di sekitar Pakkat, Tarabintang dan Parlilitan. Mereka menjaga tradisi leluhur dan rutin mengadakan acara adat untuk mempererat persaudaraan.
Para sesepuh Tinambunan di ketiga daerah ini juga rajin berbagi kisah tentang asal-usul marga, leluhur pertama yang bermigrasi, serta peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah di kawasan tersebut. Cerita-cerita ini diwariskan turun-temurun agar tidak hilang ditelan zaman.
Melalui pertemuan-pertemuan adat maupun kegiatan sosial seperti buka puasa bersama di Aceh Singkil beberapa waktu lalu, marga Tinambunan membuktikan bahwa nilai persaudaraan tetap dijunjung tinggi meski telah tersebar di berbagai wilayah.
Dari ketiga daerah itu, keturunan marga Tinambunan telah banyak yang sukses di berbagai bidang, mulai dari pemerintahan, pengusaha, akademisi, hingga tokoh adat. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga besar marga tersebut.
Jejak persebaran Tinambunan yang melintasi batas wilayah menunjukkan betapa dinamisnya mobilitas masyarakat Batak dalam sejarah Nusantara. Sekaligus menegaskan pentingnya menjaga tali persaudaraan dan adat istiadat di tengah arus modernisasi saat ini.
Dengan semangat persatuan dan nilai-nilai adat yang diwariskan leluhur, marga Tinambunan di Aceh Singkil, Pakpak Bharat, dan Humbang Hasundutan bertekad terus menjaga warisan budaya sekaligus berkontribusi bagi pembangunan daerah masing-masing.
No comments:
Write comments