Sejarah pelayaran Nusantara menyimpan banyak cerita yang masih samar dalam catatan sejarah resmi. Namun, sejumlah penelitian arkeologi modern mulai membuka kemungkinan bahwa leluhur masyarakat Sumatera kuno, termasuk Batak, Kerinci, Minang, Melayu Sriwijaya, bahkan peradaban pembangun Menhir di Sumatera Barat, pernah menjelajahi lautan luas hingga berhubungan dengan peradaban Amerika Tengah.
Dalam sebuah karya tulis, Jaime Errazuriz menyebutkan kemiripan teknik produksi kertas lipat di Amerika Tengah dengan yang ada di Asia Tenggara. Dugaan kuat menyebutkan, bahwa teknologi ini dibawa oleh pelaut-pelaut kuno dari Sumatera yang sejak ribuan tahun silam telah memiliki peradaban maritim canggih. Wilayah Sumatera memang dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan purba di Asia Tenggara.
Arkeolog Michael Coe turut memperkuat teori ini dengan merujuk penelitian Dr. Paul Tolstoy dari Universitas Montreal. Dalam artikelnya, Tolstoy menyingkap adanya teknologi pembuatan kertas kulit pohon yang tersebar di kawasan Pasifik, Asia Tenggara, dan Amerika Tengah. Sumatera, sebagai tanah asal beragam etnis maritim seperti Batak kuno, Kerinci, Minang, dan Melayu awal, disebut-sebut ikut menyumbang dalam jejaring pertukaran budaya kuno tersebut.
Peradaban pembangun Menhir yang berkembang di Sumatera Barat menjadi bukti nyata keberadaan komunitas megalitikum Sumatera yang sudah mapan sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Menhir-menhir tersebut tak hanya berfungsi sebagai monumen leluhur, tetapi juga dipercaya sebagai penanda rute pelayaran kuno dan pemujaan terhadap bintang dan arwah laut.
Paul Tolstoy meyakini bahwa teknologi dan budaya ini menyebar melalui jalur pelayaran kuno Nusantara. Wilayah Sumatera yang strategis di jalur perdagangan laut menghubungkan Asia Timur, India, dan Pasifik, menjadikannya pusat lalu lintas maritim dan peradaban sejak ribuan tahun silam. Para pelaut dari Sumatera diyakini telah melintasi Samudra Pasifik menuju Amerika Tengah, meninggalkan jejak budaya di sana.
Hal ini diperkuat dengan fungsi utama kertas kulit kayu di Amerika Tengah yang digunakan untuk ritual, kalender, dan catatan astronomi, serupa dengan kebiasaan masyarakat Sumatera kuno, termasuk dalam budaya Menhir yang menjadikan alam semesta dan langit sebagai bagian penting dalam sistem kepercayaan.
Penemuan alat pemukul bundelan kertas pohon yang serupa di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara menjadi bukti kuat transfer teknologi tersebut. Usianya sekitar 2.500 tahun, hanya berbeda sekitar dua abad lebih muda dari temuan serupa di Asia Tenggara, termasuk di Sumatera yang kala itu menjadi pusat pelayaran Nusantara.
Peradaban Maya di Amerika Tengah merupakan satu-satunya di benua itu yang memiliki teknologi pembuatan kertas. Waktu kemunculannya bertepatan dengan awal perkembangan peradaban Maya, yang menarik perhatian para ahli karena mengindikasikan adanya pengaruh pelaut asing, salah satunya dari wilayah Sumatera.
Michael Coe menegaskan bahwa kedatangan ekspedisi Asia ke Amerika bukan berarti peradaban Maya sekadar meniru, melainkan mereka menyerap gagasan penting dari para pendatang. Hal ini menunjukkan bahwa pertukaran pengetahuan global sudah terjadi jauh sebelum era modern.
Kajian tentang pelayaran kuno Sumatera, bersama bangsa Asia lainnya, memperlihatkan bahwa sebelum kedatangan Colombus, masyarakat Nusantara telah menjalin hubungan kultural dengan benua lain. Masa itu diyakini sebagai periode globalisasi kuno yang mencapai puncaknya sebelum digantikan oleh dominasi bangsa Arab dan Eropa.
Beberapa bukti pelayaran kuno dari Cina telah ditemukan di Amerika. Tidak menutup kemungkinan, jejak pelaut-pelaut Sumatera turut menyebar ke sana, meninggalkan pengaruh budaya seperti teknologi pembuatan kertas dan sistem perhitungan kalender.
Peradaban-peradaban besar dunia seperti Mesir, Yunani, Romawi, dan Cina memang telah tercatat luas dalam sejarah. Namun, peradaban Sumatera kuno, termasuk Batak, Kerinci, Minang, Melayu Sriwijaya, dan komunitas megalitik Menhir, juga memiliki peran penting dalam membentuk peta peradaban Pasifik dan Amerika.
Leluhur Sumatera diperkirakan telah memperkenalkan berbagai pengetahuan astronomi, sistem kalender, metode membaca gerhana bulan dan matahari, bahkan sistem navigasi laut berdasarkan bintang, kepada masyarakat kuno di Amerika Tengah, termasuk Maya.
Dalam berbagai mitologi Sumatera, kisah pelayaran panjang demi migrasi, perdagangan, dan ritual ke pulau-pulau jauh kerap diceritakan secara lisan. Hal ini mencerminkan kuatnya tradisi pelayaran yang telah diwariskan sejak zaman megalitik Menhir.
Jejak maritim Sumatera kuno dan peradaban Menhir menjadi jendela baru dalam memahami sejarah Nusantara yang selama ini lebih banyak mengisahkan kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit. Padahal jauh sebelumnya, masyarakat Sumatera telah menjadi pelaut ulung yang meninggalkan warisan budaya lintas samudra.
Penting untuk terus mengungkap jejak-jejak peradaban ini agar kita bisa menyusun ulang kisah sejarah Nusantara secara lebih utuh. Artefak-artefak dan situs budaya seperti Menhir Sumatera Barat perlu lebih digali untuk mengetahui koneksi budaya global di masa lampau.
Sejarah pelayaran leluhur Sumatera membuktikan bahwa Nusantara pernah menjadi simpul penting jalur pelayaran dunia sejak ribuan tahun lalu. Warisan ini menjadi kebanggaan dan kekuatan identitas maritim Indonesia di masa kini.
Dengan memahami sejarah ini, generasi muda diharapkan bisa lebih mencintai warisan budaya bangsa, sekaligus terinspirasi untuk mengembangkan kembali kejayaan maritim Indonesia. Karena pada hakikatnya, pelaut Nusantara telah mengarungi samudra jauh sebelum bangsa lain mengenal peta.
Jejak pelayaran leluhur Sumatera ini menjadi pengingat bahwa sejarah bukan hanya milik peradaban-peradaban besar dunia, melainkan juga bangsa-bangsa Nusantara yang selama ini jarang disebut, tetapi sesungguhnya telah memainkan peran besar dalam sejarah peradaban manusia.
Dibuat oleh AI, lihat info lainnya
No comments:
Write comments