Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.

Titulo

recent

The Slider

ahanamasa

featured posts

berita

Thursday, August 02, 2007

Syariat Kristen di Papua

 

Syariat Kristen di Papua

Liputan KBR68H

05-04-2007

Peraturan Daerah berbasis agama terus bermunculan. Di Manokwari Papua Barat, peraturan daerah berdasarkan injil tengah digodok Pemerintah Kabupaten dan DPRD setempat. Tidak hanya mengatur soal larangan minuman keras dan prostitusi, perda ini juga mengatur cara peribadatan bagi warga Manokwari.

Ditolak
Rancangan aturan daerah tentang pembinaan mental dan spiritual berbasis Injil tengah dibahas Pemerintah dan DPRD Manokwari, Provinsi Papua Barat. Pembahasan perda bernuansa agama itu memicu penolakan dari umat kristiani.

"Kebetulan saya warga kristiani. Saya tidak melihat urgensi penerapan syariat kristen. Saya mendengar ini cukup gemana ya karena saya sebagai pengikut tuhan Yesus bangga. Dengan dasar kasih itu ndak perlu.Perda itu kalau acuannya agama salah besar karena dalam undang-undang dasar itu jelas."

Manokwari sebagai gerbang pertama penyebaran Injil di Indonesia menjadi alasan bagi pemerintah setempat untuk menerapkan aturan berdasarkan ayat-ayat injil Alkitab. Aturan itu diusung unsur gereja dan sejumlah pakar. Diantaranya Pendeta Sherli Parinusa.

Akan menyulut konflik
Pendeta Sherli Parinusa: " Mungkin ada tafsiran yang katakan perda ini akan sara. Tetapi tujuan sebenarnya tidak ini hanya mengedepankan kekhasan agar dihargai, misalnya di Aceh ada serambi mekah. Kita katakan manokwari sebagai kota injil dengan mendepankan sebagai kota perdamain, kebenaran tolerasi bersama) "

Aturan dengan berdasar kitab suci ini dikhawatirkan akan menyulut konflik. Tak hanya mengatur cara berpakaian, namun juga tata cara ibadah. Raperda memuat soal larangan memakai simbol agama tertentu di muka umum, dan melarang pembangunan rumah ibadah agama lain di tempat yang sudah ada gereja. Raperda juga mengharuskan syarat ijin minimal 150 orang bagi warga non Nasrani yang ingin mendirikan rumah ibadah. Khusus untuk pembangunan rumah ibadah ini tampaknya merujuk pada Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pembangunan rumah ibadah yang diteken April Tahun lalu. Tapi dalam peraturan dua menteri itu syarat ijin cukup 90 warga.

Urusan perda bernuansa syariat agama ini pertengahan tahun lalu juga menjadi sorotan parlemen. 56 Anggota DPR penentang perda syariah mengajukan memorandum kepada pimpinan Dewan. Mereka mendesak pimpinan DPR agar meminta pemerintah membatalkan peraturan-peraturan daerah yang berdasarkan hukum agama. Puluhan anggota parlemen itu berasal dari PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa dan Golkar. Memorandum ini ditentang 134 anggota DPR. Dalam pertemuan dengan pimpinan DPR, 134 orang wakil rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera, PKS dan PPP mengajukan permintaan yang berlawanan dengan permintaan 56 rekan mereka. Dalam permintaan tersebut anggota DPR yang dimotori Lukman Hakim dari PPP meminta pimpinan DPR agar tidak meluluskan usulan kelompok penentang perda syariah. Alasannya perda-perda tersebut memang dibutuhkan untuk memerangi aksi judi dan pelacuran. Anggapan yang menyebutkan perda syariah melanggar konstitusi pun mereka tampik.


Menyudahi
Perang opini perda syariat itu parlemen akhirnya disudahi dengan kesepakatan untuk tak melanjutkan perbedaan pendapat soal perda syariah. Wakil dari Fraksi Partai Amanat Nasional Patrialis Akbar saat itu menyatakan, semua fraksi sepakat untuk mengakhiri pertentangan dengan tak memperpanjang perbedaan soal perda syariah. Patrialis yang merupakan pendukung pemberlakuan Perda Syariah di DPR mengatakan kesepakatan itu diambil supaya perbedaan di DPR tidak meluas menjadi konflik atau perpecahan.


Menurut Patrialis penolakan terhadap perda syariah dilanjutkan melalui langkah hukum bukan politik.

Patrialis: "Jadi diambil kesepakatan dengan berbagai macam latar belakang, dan masa depan yang lebih baik, keutuhan dan kebersamaan kita, perda syariat islam kita tak lagi mengungkap soal itu, jadi biar saja sesuai mekanisme hukum yang berlaku semua fraksi-fraksi menunjukkan jiwa besarnya. Tidak ada yang menentang meskipun ada yang menawarkan alternative lain, tapi akhirnya kita simpulkan ini sudah selesai."


Jalur hulum
Menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan soal perda syariah sebelumnya pernah diusulkan Sebastian Salang, Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Formappi. Menurut ia penyelesaian lewat jalur hukum ini memang jalan terbaik menyelesaikan perpecahan di DPR. Sebab menurut ia jika perpecahan di DPR dibiarkan maka akan membuat perpecahan di masyarakat semakin tajam.


Sebastian juga mengkritik Departemen Dalam Negeri yang tidak tegas mengatur perda-perda bermasalah.

Sebastian Salang: "Setiap perda itu apabila dalam 1 bulan atau 30 hari tidak mendapat penolakan atau pengkajian dari departemen di dalam negeri. Maka perda itu dinyatakan sah dan berlaku. Nah masalahnya itu banyak Perda yang masuk ke Departemen Dalam Negeri tapi tidak pernah ditindaklanjuti sehingga muncullah perda-perda yang aneh ini dan berlaku begitu saja. Solusi yang penting menurut saya DPR itu memanggil Departem Dalam Negeri sebagai departemen yang bertanggungjawab apakah peraturan itu sesuai dengan Undang-undang atau tidak, bertentangan dengan azaz pancasila atau tidak. Sehingga setiap perda tidak berlaku begitu saja di daerah."


UUD 45 dan Pancasila
Selain diselesaikan lewat forum pimpinan, Sebastian Salang juga menyarankan agar semua anggota DPR kembali menggunakan rujukan UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar berpikir mereka. Jika tidak, Indonesia akan kembali berkutat dalam pertentangan ideologis yang bisa memecah bangsa.


Saudara, meski setuju menghentikan perdebatan di DPR, anggota parlemen yang menolak Peraturan Daerah soal syariah akan terus melanjutkan perjuangannya. Anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, PKB Helmi Faishal Zaini mengatakan akan terus mendorong pemerintah pusat melakukan inventarisasi perda syariat dan kemudian melakukan uji materiil ke Mahkamah Agung.

Helmi Faishal Zaini: "Ya kami menunggu tentunya. Dan Pemerintah saya kira juga bisa secara otomatis melakukan evaluasi terhadap perda-perda yang katakanlah berbeda nafasnya dengan Undang-undang No 32 tahun 2004 sebagai pengganti Undang-undang nomer 22 tahun 1999. Karena di Undang-undang pemerintahan daerah itu disebutkan bahwa pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan untuk pengelolaan pemerintahan daerah. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan politik luar negeri fiskal, moneter dan agama terkait dengan aturan-aturan itu menjadi aturan pemerintah pusat. Tapi Perda ini kan mengambil domain pemerintah pusat di daerah."


Konflik SARA
Perda bernuansa syariat yang bertentangan dengan peraturan di atasnya juga diakui Wakil Ketua DPRD Manokawari Amos H Kay. Dia mengakui Raperda terutama terkait cara peribadatan bertentangan dengan aturan di atasnya. Ia menegaskan hal bertentangan ini perlu dikaji, sehingga jika diberlakukan tidak menimbulkan konflik SARA.

Amos H Kay: "Yang diatur antara lain yang termuat dalam raperda masih krusial, soal pelarangan umat beragama yang lain untuk laksanakan tata cara ibadah denga bebas sesuai dengan UU no 29 UUD 45."


Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, PGI punya pendapat berbeda. Perda itu tak perlu ada. Menurut Sekretaris Umumnya, Richard M Daulay urusan iman tidak perlu diatur oleh negara. Sebuah kota harus terbuka dengan memberikan ruang publik yang luas. Tidak boleh ada perda yang hanya berlaku untuk satu etnis, agama, atau suku tertentu.

Hak warga minoritas
Richard M Daulay: "Itu yang kita takutkan perda seperti itu Indonesia khan negara yang majemuk, perda yang masukan muatan agama PGI tidak mengapresiasi itu."


Michael Utama Purnama, dari LSM Antar Iman Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) melihat pembuatan raperda-raperda dengan dasar agama ini akibat pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan. Langkah yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Manokwari ini serupa dengan pembuatan perda syariat Islam yang marak di sejumlah daerah.

Michael Utama Purnama: "Orang-orang di daerah itu jangan buru2 diberi Otda, disosialisasikan dulu. Ini khan sudah kebablasan dan pemerintah harus tertibkan, spaya tidak ada dualisme daerah dan pusat."


Menurut Michael, jika aturan ini secara tegas-tegas melabrak undang-undang dasar 1945, maka tak ada alasan bagi daerah manapun menonjolkan kekhasannya dengan mengibiri hak warga minoritas.

No comments:
Write comments

Bingung do pe dalan tu Pakkat?
Sukkun ma di son !