Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.

Titulo

recent

The Slider

ahanamasa

featured posts

berita

Saturday, August 19, 2006

Wirid

 

Wirid adalah sebuah perkumpulan yang dilakukan setiap malam juma’at bagi kami warga muslim di bonapasogit, Pakkat. Tanpa wirid maka akan sangat hampa suasana keagamaan dan sosial antar muslim.

Memang ada pengajian mingguan setiap hari selasa bagi ibu-ibu yang bentuknya seperti majlis taklim di daerah Jakarta. Namun, hampir tidak ada perkumpulan yang menghimpun semua level masyarakat, mulai dari kaum bapak, ibu, remaja dan anak-anak selain wirid.

Selain sebagai acara pembacaan yasin, tahlil dan takhtim, acara wirid ini juga sebagai media pererat silaturrahmi dan sekaligus bentuk interaksi sosial yang dapat memperkuat lembaga sosial antara mereka.

Hal ini dibuktikan dengan penutupan acara wirid dengan mempersilahkan setiap anggota untuk berbicara mengenai apa saja yang menjadi unek-unek mereka mengenai, masalah sosial, pribadi maupun fenomena-fenomena yang lain. Mereka akan mengutarakan harapan, kekesalan dan keinginannnya mengenai masalah tersebut.

Acara ini semakin asyik dengan adanya tanggapan-tanggapan dari anggota lain. Suasana yang mirip dengan diskusi tersebut akan dipandu oleh seorang pemimpin, biasanya yang dituakan, agar diskusi tidak melantur kesana-kemari.

Beberapa tetua yang masih saya ingat sampai sekarang adalah, Tuan Panghulu, seorang bermarga Gajah dan menjadi tokoh intelektual masyarakat. Namun keterlibataknnya dalam acara sosial masyarakat akhirnya menjadi sangat minim karena dia telah diangkat menjadi pegawai yang mewakili departemen agama di KUA.

Nama lain adalah Tuan Qadi, seorang bermarga Purba, sesepuh masyarakat Pakkat, yang sering disebut dengan Tuan Kali, karena banyak orang yang tidak bisa melafalkan huruf dhad. Dia merupakan seorang yang menjadi pionir dalam membangun masyarakat parsulam Pakkat.

Nama lain adalah Opung Simanjuntak yang menjadi de facto, sebagai nazir mesjid yang mengurusi segala keperluan mesjid mulai dari operasional, kepanitiaan dan lain sebagainya.

Namun, peran tetua ini, katanya, sekarang ini sudah mulai menurun seiring dengan banyaknya generasi muda yang tamatan pesantren dan IAIN kembali ke kampung halaman dan mengabdikan dan mengamalkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat.

Pergeseran itu pula, membuat moment wirid bergeser pula. Sekarang ini, para tetua dan masyarakat manula yang dulu menjadi anggota yang disiplin dalam menghadiri wirid menjadi sangat jarang datang. Hal ini diakibatkan, proses pembinaan ummat yang dilakuan oleh para rohaniawan muda tersebut mengambil segmen yang terlalu berat kepada generasi muda. Sehingga, mereka yang tua serasa ditinggalkan.

Hal lain yang sangat pentingh adalah, timbulnya perpecahan di antara anggota masyarakat akibat kurangnya kehadiran tokoh-tokoh penting yang dianggap dapat mempersatukan kepentingan-kepentingan ummat.

Kondisi umat parsulam yang tidak terorganisir secara stuktural, membuat banyak orang kebingungan dalam mengaplikasikan peran mereka dalam kehidupa sosial. Tentu, akan terjadi tumpang tindih peran, adanya pihak yang merasa terabaikan dan semua ini menimbulkan friksi yang pada awalnya tidak terlalu memuncak ke publik namun lama-kelamaan menjadi duri dalam daging yang sangat sukar diobati.

Dalam kepengurusan mesjid misalnya, telah terjadi pengkristalan persepsi bahwa seseorang yang telah menjadi pegurus mesjid, tidak perlu harus melaporkan segala bentuk kegiatan dan pendanaan kepada publik, karena mereka yakin, bahwa publik tidak terlalu memerlukannya.

Padahal, seiring dengan kemajuan cara berpikir masyarakat dewasa ini, maka kebutuhan untuk transparansi sudah sangat mendesak, apalagi misalnya, acara pengumpulan dana sudah semakin tidak seimbang dengan aktivitas dan pembangunan mesjid yang nampaknya jarang direalisasikan kecuali hanya dalam perencanaan-perencanan saja.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bergulir begitu saja di luar mesjid yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan dan saling mencurigai yang tidak terobati karena masyarakat merasa tidak mempunyai saluran yang tepat untuk mengungkapkannya.

Saling tidak perduli yang ditunjukkan oleg elit-elit, di depan ummat parsulam yang jumlahnya tidak seberapa, yang memegang kekuasaan nonformal ini berubah menjadi sebuah proses pembusukan pada tingkat kepercayaan antar anggota masyarakat. Apatisme dan pesimisme pun merebak yang berujung kepada keadaan tidak saling menghargai. Semua ini, dalam level yang relatif, berpengaruh kepada pembangunan sosial dan keagamaan ummat parsolam di Pakkat.

No comments:
Write comments

Bingung do pe dalan tu Pakkat?
Sukkun ma di son !