Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.

Titulo

recent

The Slider

ahanamasa

featured posts

berita

Saturday, January 21, 2023

Melihat Kerajaan Sinambela di Singkil dan Aceh Selatan

Singkil menjadi tersohor ke seluruh dunia, bukan  karena alamnya yang kaya seperti kayu, damar, rotan, kemenyan, kapur barus dan hasil laut yang melimpah. Wilayah ini pernah melahirkan dua ulama kharismatik, Syekh Abdurrauf dan Syekh Hamzah Fanshuri sebagai sekaligus pemantik khasanah budaya dan sejarah yang mengagumkan di nusantara.

Banyak pahlawan besar berasal dari Singkil yang peran mereka tak bisa dinafikan meskipun cenderung diabaikan dalam tonggak sejarah Aceh. Ada Siti Ambiyah, Sultan Daulat, Datuk Murad, Datuk Ijo atau Mat Ijo.  “Kerajaan-kerajaan Tua di Singkil (16  Mai 1989). Banyak terdapat kerajaan dan makam para ulama yang punya hubungan benang merah dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh,” kata sejarahwan Indonesia, Tengku Lukman Sinar.

Kerajaan Aceh Darussalam disegani di pelataran dunia, bukan hanya keluasan wilayah dan tentaranya yang hebat, akan tetapi Aceh menjadi pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan, pusat tamaddun dan budaya yang agung. Kehebatan kompleksitas yang dimiliki Kerajaan Aceh Darussalam ini, merupakan saham terbesar dari pemikiran mufti fenomenal Syekh Abdurrauf atau lebih dikenal dengan Syiah Kuala dan Syekh Hamzah Fansuri.

Singkil dengan Aceh Darussalam, tidak bisa dipisahkan. Ada benang merah yang menjuntai, merenda dan berajut bagaikan seperangkat jala. Ketika orang menyebut Sultan Iskandar Muda, pasti akan menyebut Qadli Malikul Adil  Syekh Abdurrauf.  Sehingga ada hadih maja  yang sangat populer; “Adat bak Poteo Meureuhoom, hukum bak Syiah Kuala, Kanun bak Poetroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut.” Ungkapan ini menjadi falafah hidup dan politik rakyat Aceh.

Hamzah Fanzuri menoreh kesohoran peradaban Aceh, termasuk syair-syair dan sastra relegi tasawuf wujudiahnya. Hamzah Fansurilah orang pertama yang memelopori sastra dan bahasa Melayu di Aceh, hingga menjadi linguafranka dan dijadikan bahasa persatuan di nusantara. Ironinya, kedua putra Aceh Singkil ini harus ditenggelamkan dalam sejarah, bahkan difitnah. Padahal merekalah icon dari dari kemajuan ilmu pengetahuan dan sastra-budaya di provinsi Aceh.

Abuya Tengku Baihaqi (lahir 1931), seorang pimpinan Pesantern di Aceh Singkil, mengungkapkan, ketika ia masa kanak-kanak begitu merasakan nuansa dan suasana kerajaan-kerajaan di Singkil. Keluarganya sendiri pernah terlibat sebagai pemangku kerajaan, pada kerajaan Tangjung Mas, Simpang Kanan, Aceh Singkil. Kerajaan ini merupakan bagian dari kerajaan Aceh, yang sebelumnya pernah ditaklukan kerajaan Pagaruyung, Minang Kabau yang rajanya Cucu Ciandur Mata.

Ketika Putra Raja Minang Kabau ini melangsungkan perkawinan dengan Putri Raja Aceh. Raja Minang Kabau menyerahkan wilayah Simpang Kanan dan Simpang Kiri atau di kenal dengan “Rantau 12” kepada Raja Aceh sebagai uang antaran kawin (maskawin). Sejak itu, Simpang Kiri dan Simpang Kanan resmi menjadi wilayah kerajaan Aceh, dan semua kepala negeri diangkat langsung Sultan Aceh, Alaidin Ali Ri’yatsyah, dengan menyematkan keris Bawar.

Ketikaraja Aceh, Alaidin Ali Ri’ayatsyah yang dikenal Sultan al-Kahhar, kepada raja-raja di kerajaan Singkil diberikan tongkat jabatan berjambul emas. Sedangkan kerajaan Batu-batu di Simpang Kiri dan 13 kerajaan lainnya, diberikan tongkat jabatan dengan jambul perak.

Adanya pengukuhan dari Sultan Aceh, maka terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “Raja Sinambelas” (raja 16). Kerajaan Sinambelas ini, tetap berada di bawah kerajaan Aceh Darussalam dengan Ibukota Banda Aceh. Kerajaan Sinambelas ini, berbentuk otonom, bisa melaksanakan pemerintahannya sendiri (lihat A. Mufti  Ali Yokyakarta: Nida 1970).

No comments:
Write comments

Bingung do pe dalan tu Pakkat?
Sukkun ma di son !